Selasa, 21 Februari 2012

KEBERKAHAN DI DUNIA ATAU DI AKHIRAT ???

Dalam berbagai aliran dan teori tentang etika, ada yang disebut dengan aliran atau paham Hedosnisme. Yaitu suatu paha bahwa ukuran baiknya suatu perbuatan dilihat dari perspektif tujuan akhirnya yakni mendatangkan “hedone” (kenikmatan atau kelezatan) duniawi. Kelezatan dan kenikmatan itu dicari dan didambakan oleh seluruh manusia, bahkan mungkin juga oleh binatang sekalipun. Karena kelezatan dan kenikmatan itu merupakan tujuan akhir hidup manusia, maka jalan yang mengantarkan ke sana dipandang sebagai suatu perbuatan mulia, atau sebagai suatu keutamaan, apapun caranya. Sebagai tokoh utama dari aliran ini ialah Epikorus (341-270 M). diterangkan ada tiga macam kelezatan. Pertama, kelezatan yang wajar dan sangat diperlukan, seperti makanan dan minuman (yang sifatnya dharuri). Kedua, kelezatan yang wajar tetapi belum diperlukan, seperti kelezatan makanan enak lebih dari biasanya (tahsini). Ketiga, kelezatan yang tidak wajar dan tidak diperlukan, yang dirasakan manusia atas dasar pikiran yang salah (tahsini), misalnya kemegahan harta benda (lihat: Etika Islam, Dr. Hamzah Yakub).

Dalam ajaran Islam, mencari kelezatan dan kenikmatan dibolehkan dan itu manusiawi. Hanyasanya cara memperolehnya harus dengan cara yang halal dan dzatnya harus yang thayyib dan halal juga. Kemudian tana’um dan taladzdzudz itu bukan hanya didunia saja, tetapi harus dicari juga untuk kelak di akhirat. Jangan sampai terjadi karena focus terhadap kenikmatan duniawi lalu melupakan akhirat, atau bahkan sampai melanggar aturan Allah swt dengan melakukan perbuatan yang diharamkan Allah, demi mencari kesenangan sesaat (pragmatis). Mengapa demikian? Karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya (tsumma latus-‘alunna yaumaidzin ‘anin-na’im). Intinya, manusia tidak dilarang makan yang enak, berpakaian yang bagus, punya rumah yang luas, kendaraan mewah, jabatan yang tinggi, asalkan dengan cara yang halal dalam menghasilkannya.

Barangsiapa yang terjebak dalam kehidupan yang hedonistis baik secara individualistis atau universalistic dan yang jadi focus hanya kebahagiaan sekarang di dunia saja, ini sangat riskan pada resiko konflik di kalangan masyarakat. Inilah yang disebut oleh seorang Sfi, Ibnu Rajab, dengan istilah terjebak kepada “fitnatus-syahawat”. Adapun cirri-ciri masyarakat yang sudah terjebak dalam fitnah syahawat yaitu, mereka kalah dalam ujian melawan godaan harta kekayaan dan jabatan. Sehingga mereka silau dengan gemerlapnyakesenangan duniawi, yang akhirnya kesenangan dunia yang menjadi target akhirnya, kesenangan dengan banyaknya uang yang ia cari dan yang ia ridoi. Bahkan karena dunia, mereka akan saling membenci dan saling bunuh. Kepada kesenangan dunia mereka menghambakan dirinya. Dan hidup matinya demi kesenangan dunia. Yang akhirnya mendorong hidup serakah kepada dunia tanpa menghiraukan penderitaan orang lain. Bahkan tega merampas hatk orang lain.

Ada beberapa riwayat sebagai peringatan dari Rasul saw kepada kaum muslimin dahulu agar tidak terjebak kepada tana’um dan taladzdzudz. Antara lain sebagai berikut:

Rasul saw bertanya kepada kaum muslimin: “Jadi manusia tipe apakah kalian nanti, jika gudang harta telah terbuka bebas dating dari Persia dan Romawi? Dan bagaimana sikap kalian? Dijawab oleh Abdurrahman bin ‘Auf: “Kami akan menyikapinya sebagaimana kami diperintahkan oleh Allah kepada kami.” Rasul saw berkata: “Bukankah kalian nanti akan berlomba-lomba saling merebut untuk mendapatkan harta itu sebanyak-banyaknya walaupun dengan cara yang tidak benar? Kemudian saling mendengki satu sama lain, dan akhirnya kalian bertolak belakang dan saling bermusuhan?” (Shahih Muslim dari Abdullah bin’Amr).

Inti dari hadits ini, bahwa jika manusia belum siap mental, iman menipis, umumnya mereka tidak tahan terhadap fitnah syahawat (godaan atau rayuan selera) ini. Dan yang terjai adalah perebutan harta kekayaan yang tiada hentinya. Berebut lahan yang didiaminya ataupun berebut uang yang dijadikan Tuhannya.

Riwayat lain menyatakan sebagai berikut: Rasul saw pernah bersabda: “Bukanlah cobaan kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetap yang paling aku khawatirkan jika kalian diuji dengan gemerlapnya kemewahan harta kekayaan dan berlimpahnya uan, sebagaimana yang dialami keleluasaannya oleh umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba, bersaing dengan cara yang tidak sehat, terjadi saling hujat-menghujat, saling gugat-menggugat dan saling membinasakan satu sama lain, seperti mereka lakukan dahulu, yang akhirnya menghancurkan kalian, sebagaimana hancurnya umat-umat terdahulu sebelum kamu.” (HR. Bukhari dari ‘Amr bin ‘Auf).

Inti dari hadits ini, bahwa kehidupan hedonistis bias memicu konflik antar manusia, karena mereka sudah diperbudak oleh dunia. Menghambakan dirinya kepada kekuasaan dan jabatan. Karena semuanya mencari tana’um dan taladzdzudz.

Riwayat lain menyatakan, ketika gudang-gudang harta milik Kirsa di Persia dibuka luas ke seuruh negeri termasuk ke Madinah pada zaman Khalifah ‘Umar, dan diberikan kepada beliau, maka beliau menangis sambil berkata: “Justru inilah yang aku khawatirkan, karena tidaklah semata-mata harta kekayaan doibukakan pintu-pintunya terhadap suatu kaum, kecuali pasti Allah akan menjadikan kerepotan dan bahaya bagi kaum itu (jika imannya belum manyap).”

Intinya setiap orang, khususnya yang megaku beriman, jangan sampai silau dan terkecoh dengan kegerlapnya kesenangan dunia. Karena mungkin hanya sekedar ilusi dan bayangan hampa saja. Apalagi jika status harta yang berlimpah itu tiak jelas kedudukan hukumnya. Allah swt pasti akan mencabut barakahnya.

Solusi menghadapi kehidupan hedonistis yang melanda umat adalah masing-masing harus sudah mulai belajar hidup zuhud (kesederhanaan), bersikap wara’ (hati-hati dalam mencari rezeki, memilih yang halal saja, bahkan hati-hati erhadap barang yang syubhat), serta tanamkan dalam diri sifat qana’ah (menerima apa adanya pemberian rezeki dari Allah swt), dan pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah sekecil apapun. Belajarlah melihat kepada yang sebawahnya dalam soal rezeki, dan belajar jangan melihat kepada yang lebih atas dalam soal rezeki, karena akan menghilangkan rasa syukurkepada Allah. Dan mesti diingat bahwa setiap apapun yang diklaim sebagai miliknya kelak akan ditanya di yaumil-hisab. Dari mana menghasilkannya, kemana disalurkannya dan bagaimana cara mendapatkannya.

0 komentar: