NUZULUL QUR’AN
I. Pendahuluan
Ketika
Al-Quran turun kepada Nabi SAW, beliau menyampaikan kepada para sahabatnya
secara perlahan-lahan agar mereka menghafalnya lafaznya, dan mampu memahami
maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memelihara)
Al-Qur’an dan dalam memperolehnya.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus
sebagaimana kitab-kitab yang kita ketahui, akan tetapi sedikit demi sedikit
secara berangsur-angsur, sebab ada suatu hikmah atau rahasia yang terkandung di
dalamnya. Wahyu itu diturunkan pada setiap ada peristiwa atau kejadian, supaya
mereka kaum muslimin bertetap hati, tidak merasa jenuh dan Nabi sering
dikunjungi oleh malaikat Jibril untuk dibangun kegembiraan dan kesenangan hati.
Dengan demikian Nabi selalu merasa gembira karenanya. Untuk orang-orang yang
ummi akan lebih mudah cara menghafalnya dan memahami. Al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril adalah
secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Kadang-kadang turun hanya
terdiri dari beberapa ayat saja, dan kadang-kadang terdiri dari beberapa ayat,
lima sampai sepuluh ayat bahkan ada yang hanya satu ayat. Tetapi ada pula yang
sekali turun terdiri dari satu surat lengkap yaitu terdiri dari beberapa surat
yang pendek, seperti Surat Al-fatihah, Surat Al-Ikhlas, Al-Alaq, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau
Al-Qur’an itu, sebagaimana apa yang telah kita dengar, telah dihafal oleh
sejumlah besar para sahabat. Karena salah satu hikmah Al-Qur’an diturunkan
berangsur-angsur menurut hemat penulis adalah agar lebih mudah dihafal ataupun
dipahami oleh umat Rasulullah SAW dikemudian hari.
II. Pembahasan
A. Periode Turunnya Al-Quran
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan
oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana
metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu
masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan
pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di
dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik;
sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau
tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu
persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain
yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur
hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras,
perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.Yang
demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan
hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati
oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu
dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika,
Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa
Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk
memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan
mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua
periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat
yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang
turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan
dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya
periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari
ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian
demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Periode Pertama
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'),
belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan
seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru
setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu
yang diterimanya, dengan adanya firman Allah :
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad)
2. bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit (daripadanya)
Kemudian, setelah itu,
kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi
Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya:
1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
2. bangunlah,
lalu berilah peringatan!
3. dan Tuhanmu
agungkanlah!
4. dan
pakaianmu bersihkanlah,
5. dan perbuatan
dosa tinggalkanlah,
6. dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak.
7. dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya:
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit
(daripadanya),
3. (yaitu)
seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. atau lebih
dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
Ayat lain, umpamanya:
214. dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat,
215. dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-
orang yang beriman.
216. jika
mereka mendurhakaimu Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan"; (QS 26:214-216).
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya
surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang
menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran",
karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula
persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta
bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah
ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah
yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang
menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan
agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah
menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu.
Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
- Segolongan kecil dari mereka menerima
dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
- Sebagian besar dari masyarakat
tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24),
keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS
43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan
seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani
Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal
untuk kami."
- Dakwah Al-Quran mulai melebar
melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun,
dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan
oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi
kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para
penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para
akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah. Pada masa tersebut,
ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan
kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika
itu, seperti:
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS 16:125).
Dan, di lain pihak,
ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik
yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah
wahai Muhammad:
13. jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan
Tsamud".(QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi
mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang
dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan
perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?"
Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan
ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan
untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu
sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup
untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha
Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan:
"Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
78. dan ia membuat
perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur
luluh?"
79. Katakanlah:
"Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
80. Yaitu Tuhan
yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, Maka tiba-tiba
kamu nyalakan (api) dari kayu itu".
81. dan tidaklah
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan
yang serupa dengan itu? benar,
Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi
Maha mengetahui.
82. Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan
kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di
antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan
kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan
Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup
setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit
dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan
dengannya."
Disini terbukti bahwa
ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala
segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan
alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah
dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat
hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi
nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun,
di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti:
Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai
kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab,
orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan
cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan
kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran
menyarankan: (QS 9:13-14).
13. Mengapakah kamu tidak memerangi
orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk
kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
14. perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka
dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan
menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. (QS 9:13-14).
Adakalanya pula perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya,
seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian,
berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh
karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan.
Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut,
serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya
hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat
yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam
kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan
mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga
kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang
diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil
memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam
bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut).
Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang
korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian
merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang)
selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka
juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami
perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang
beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada
mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan
orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik,
Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan
yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang
ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli
kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat
diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari
kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64).
B. Ayat yang Pertama Turun
Agama Islam adalah agama yang dianut oleh
ratusan juta bahkan miliaran kaum muslim seluruh dunia, dan merupakan way of
life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat, karena
agama Islam mempunyai satu sendi utama yang esensial berfungsi memberi petunjuk
ke jalan yang sebaik-baiknya; yaitu kalamulah.
Al-Qur’an pertama kali turun pada
malam Lailatul Qadr di sebuah gua Hira dengan ayat yang pertama dalam Surat
Al-Alaq ayat 1-5, ini didasarkan pada firman Allah SWT, pada Surat Al-Qadr, dan
ayat yang terakhir turun adalah ayat mengenai riba. Al-Qur’an pertama kali
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian
atau di waktu Nabi Muhammad SAW telah di angkat menjadi Nabi Muhammad SAW.
Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati oleh umat Islam Indonesia setiap
tahun sebagai malam peringatan Nuzulul Qur’an. Sebenarnya para ulama mengenai
hal ini tidak sependapat. Ada tiga pendapat, mengenai ayat atau surat pertama
sekali turun, yaitu ada yang mengatakan Surat Al-Fatihah, Surat Al-Mudatstsir,
dan pendapat yang terkuat adalah Surat Al-‘Alaq. Semua pendapat ini
masing-masing mempunyai alasan.
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa
ayat yang pertama diturunkan adalah Surat Al-Mudatstsir berhujjah dengan hadits
riwayat Asy-Syaikhani, yang diterima dari Abi Salamah bin Abdurrahman. Dia
berkata, saya bertanya kepada Jabir bin Abdullah “Ayat apa yang turun sebelum
segalanya? Jabir berkata, saya bertanya kepada Jabir bin Abdullah: “Ya Ayyuhal
Mudatstsir.” Kemudian aku berkata, atau “Iqra’ Bismi Rabbika”? jabir berkata:
“Saya ceritakan kepadamu apa yang diceritakan oleh Rasulullah kepada kami.”
Rasulullah berkata “ Aku mengasingkan diri di gua Hira, setelah aku pun turun
ke lembah, kemudian aku dipanggil oleh seorang, maka aku menoleh ke depan, ke
belakang, ke kanan, dan ke kiri (tapi tiada siapa-siapa). Selanjutnya aku
melihat ke atas, ternyata ada Jibril, kemudian aku menggigil, aku lalu datang
kepada Khadijah. Aku menyuruh orang-orang menyelimutiku. Maka Allah SWT
menurunkan ayat “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir.” Demikian pula
pendapat-pendapat yang lain, masing-masing didukung oleh hadits. Akan tetapi,
jumhur ulama berpendapat bahwa ayat pertama turun ialah Surat Al-‘Alaq 1-5
berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari, yang diterima dari Aisyah ra, , yaitu:
Artinya: “ Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Tentang
ayat pertama turun Imam Al-Bukhari meriwayatkan dua hadits yang berbeda. Salah
satunya mengatakan bahwa ayat pertama turun adalah lima ayat pertama Surat
Al-‘Alaq (seperti teks di atas). Hadits riwayat Imam Al-Bukhari yang bersumber
dari Aisyah ra ini menyatakan sahih oleh dua tokoh hadits yang lain. Yaitu oleh
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Al-Baihaqiy dalam Dalil-nya. Kemudian
Al-Thabraniy dalam kitabnya Al-Kabir dengan sanad-nya sendiri- yang bersumber
dari Abi Raja Al-Aththardiy menyatakan:”Abu Musa mengajarkan kami mengaji.
Beliau menyuruh kami duduk ber-halaqah. Beliau mengenakan dua baju putih. Jika
beliau membaca surat ini:
Beliau menyatakan: “Ini adalah surat pertama
yang turun kepada Muhammad SAW. Imam Al-Bukhari juga memang meriwayatkan dua
hadits yang seakan-akan berbeda mengenai satu masalah. Yakni ayat yang pertama
turun. Mari kita simak riwayat Imam Al-Bukhari, dan Imam Muslim dari Abu
Salamah bin Abdal Rahman bin ‘Auf yang mengatakan “Aku pernah menanya Jabir bin
Abdullah: (ayat) Al-Qur’an manakah turun terlebih dahulu?” Ia menjawab: “Ya
Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir.” Lalu kukatakan “Ataukah “Iqra’ Bismi Rabbika?”
Ia (Jabir) lalu mengatakan: “Akan kuceritakan kepadamu, apa yang diceritakan
Rasulullah.” Rasulullah pernah bersabda:”Sesungguhnya aku pernah di gua Hira.
Seusai aku menyendiri di sana, aku keluar. Aku menuruni lembah. Kemudian aku
dipanggil. Aku melihat ke depan dan ke belakangku, ke kanan dan ke kiriku.
Kemudian aku menatap ke langit. Tiba-tiba dia (maksudnya Jibril) tengah duduk
di atas Arsy antara langit dan bumi. Aku gemetar. Maka kudatangi Khadijah dan
dia menyelimutiku. Kemudian Allah SWT menurunkan: “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa
anzir.” (Wahai orang yang tengah berselimut. Bangunlah, maka berilah
peringatan).
Sedikitnya ada dua hal yang perlu
diperhatikan menurut penulis menyangkut hadits di atas. Pertama, kalimat Abu
Salamah yang berbunyi:” Ataukah Iqra’ Bismi Rabbika?” ini artinya, Abu Salamah
tidak serta merta menerima keterangan Jabir yang mengatakan bahwa ayat yang
pertama turun adalah “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir” itu. Dan, kalimat Abu
Salamah yang berbentuk pertanyaan (Ataukah Iqra’ Bismi Rabbika?) itu
sesungguhnya bantahan secara halus terhadap keterangan Jabir. Tetapi oleh
karena dalam masalah ini status Abu Salamah sebagai orang yang bertanya
(katakanlah murid), tentu ia harus bersikap sopan, tidak membantah ulang
keterangan Jabir bin Abdullah; kedua, kecuali hadits di atas, Imam Al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan yang lain dari Abu Salamah dan dari Jabir. Intinya
berbunyi “Ketika aku (maksudnya Rasulullah SAW) tengah berjalan, tiba-tiba aku
mendengar suatu jenis suara dari langit. Aku lalu mengarahkan pandangan ke arah
langit. Rupanya malaikat yang telah mendatangiku di gua Hira tengah duduk di
atas kursi antara langit dan bumi. Aku takut, sampai-sampai aku terperosok ke
tanah. Aku kemudian mendatangi keluargaku dan kukatakan “Selimuti aku, selimuti
aku”. Lalu Allah SWT menurunkan ayat:
Artinya: “Hai orang yang berkemul
(berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!,
Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS.
Al-Muddatstsir:1-5)
Adanya pengakuan Rasulullah yang berbunyi:
“Rupanya malaikat yang tengah mendatangiku di Hira…” menunjukkan bahwa sebelum
peristiwa turunnya Surat Al-Muddatstsir, Rasulullah telah bertemu Jibril di
Hira. Dengan dasar dua alasan tadi, kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat
Al-Qur’an yang pertama sekali turun adalah ayat 1-5 Surat Al-Alaq. Sementara
itu, Surat Al-Muddatstsir mereka nyatakan diturunkan, bukan yang pertama kali
turun. Menurut penulis, mungkin saja timbul pertanyaan: Apakah kegunaan kita
mengetahui ayat lebih dahulu turun dibandingkan dengan ayat lainnya? Pertanyaan
seperti ini memang bisa saja timbul terutama dari orang yang awam terhadap
hakikat Al-Qur’an.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya
dikutip apa yang tulis oleh Syekh Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarganiy. Penulis
kitab Manahil Al-‘Irfan ini, melihat sedikitnya ada tiga faedah yang dapat
dipetik dari mengetahui hal seperti ini, yaitu:
1. “Untuk membedakan ayat mana
yang nasikh dan mana mansukh. Jika ditemui atau beberapa ayat yang berbeda
mengenai satu masalah, maka dengan mengetahui ayat yang mana turun lebih dahulu
dan belakangan, dapat diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
2. Untuk mengetahui Tarikh
Tasyri’. Artinya, perjalanan sejarah penetapan hukum Islam dapat ditangkap
secara lebih jelas dengan mengetahui hal ini.
3. Untuk dapat mengikuti secara
pasti perjalanan turunnya Al-Qur’an yang berangsur-angsur. Dengan demikian bisa
ditangkap taktik strategi dakwah Islam di dalam mengajak orang kepada jalan
Allah SWT.”
C. Surat yang Terakhir Turun
Ayat
yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 281, yaitu:
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap
apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya
(dirugikan)”.(QS. Al-Baqarah: 281)
Para
ulama tidak sepakat mengenai ayat terakhir turun. Selain dari pendapat di atas,
terdapat pula pendapat lain yaitu di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat
yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, An-Nisa’ ayat 176,
At-Taubah ayat 128-129, dan yang paling populer adalah Surat Al-Maidah ayat 3.
Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah pendapat di atas, yaitu Surat
Al-Baqarah ayat 281. Masing-masing pendapat ini mempunyai alasan, tetapi alasan
itu kurang kuat jika dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang
terakhir turun tersebut Surat Al-Baqarah ayat 281. Tapi menurut Salman Harun
bahwa ayat terakhir yang turun adalah ayat ke lima dari Surat Al-Maidah. Isinya
adalah pesan bahwa ajaran Tuhan tentang manusia dan kemanusiaan telah sempurna
diberikan lewat Al-Qur’an. Sesuai dengan makna Al-Maidah yaitu “ hidangan”,
maka untuk mencapai kesempurnaan manusia dan kemanusiaan tersebut, perlu ada
sesuatu yang dihidangkan yaitu pendidikan dan pengajaran. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa terakhirnya turunnya Al-Qur’an ialah hari Jumat, 9 Dzulhijah
tahun 10 H atau tahun 63 kelahiran Nabi Muhammad SAW atau sama dengan bulan
Maret 632 M, pada saat itu nabi sedang berwukuf di Padang Arafah dalam
menyelenggarakan haji yang dikenal dengan haji Wada’. Sa’id bin Al-Khudri,
sebagaimana dikutip oleh As-Syayuti, mengatakan, ayat ini turun kepada Nabi
Muhammad SAW sembilan hari menjelang beliau wafat.
Menurut
pendapat yang lain masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun yang
marfu’ kepada Nabi Muhammad SAW. Riwayat-riwayat yang semuanya bersumber dari
sahabat dan tabi’in. Itulah sebabnya mengapa di dalam menunjuk ayat yang paling
akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat. Dan,
riwayat-riwayat yang hanya sekali tidak selamanya menunjukkan turunnya ayat.
Tidak jarang di antaranya yang menunjuk pada surat. Bersama ini kita uraikan
beberapa riwayat di antaranya:
a.
Riwayat pertama yang paling akhir turun adalah firman Allah SWT dalam Surat
Al-Baqarah ayat 281, yaitu :
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap
apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya
(dirugikan)”.(QS. Al-Baqarah: 281)
Dalil yang dipegang adalah:
1) Riwayat yang dikeluarkan oleh
Nasa’i dari ‘Ikhrimah, dari Ibnu Abbas.
2) Riwayat yang dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Hatim, dari Sa’id Jubair.
3) Riwayat Ibnu Jari, dari Ibnu
Jurai.
4) Riwayat Al-Baihaqiy, dari Ibnu
Abbas.
b. Riwayat kedua ayat yang
terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah:278)
Riwayat yang sama, juga dikeluarkan oleh
Al-Baihaqy.
c.
Riwayat ketiga ayat yang terakhir adalah Surat Al-Baqarah ayat 282, yaitu:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS.Baqarah:282)
Riwayat ini merujuk pada:
1)
Riwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa’id bin Al-Musayyab.
2)
Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ubaid, dari Ibnu Syihab.
Mengomentari ketiga riwayat di atas, Dr. Ahmad
Sayyid Al-Kumiy dan Dr. Muhammad Yusuf Al-Qasim dalam masalah ini sepakat
dengan Imam Al-Syayuthi mengatakan: “Ketiga riwayat ini mungkin sekali
dikompromikan”. Jelas, kata kedua guru besar Ilmu Al-Qur’an dari Universitas
Al-Azhar ini, bahwa ketiga ayat yang ditunjuk oleh ketiga riwayat di atas
diturunkan sekaligus karena letaknya yang boleh dikatakan berurutan dan
kisahnya masih satu rangkaian.
d.
Riwayat keempat ayat yang terakhir turun adalah Surat Maidah ayat 3, yaitu:
Artinya:
“…pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”( QS.
Al-Maidah:3)
Menurut
Ibnu Abbas, ayat ini turun 81 hari sebelum Rasulullah SAW wafat. Jadi, inilah
pendapat yang kuat dibandingkan dengan pendapat yang populer di kalangan umat
Islam, bahwa ayat yang terakhir adalah Surat Al-Maidah ayat 3. Ayat ini turun
di Padang Arafah ketika Rasulullah menunaikan haji terakhir, dan dia masih
hidup beberapa bulan lagi setelah itu. Setelah Surat Al-Baqarah ayat 281, turun
9 hari atau 81 hari menjelang Rasulullah SAW wafat.
Syekh Muhammad Al-Khudhari dalam kitabnya,
Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam kitabnya
Al-Qur’an Wasfhuhu, Hidayatuhu, ‘Atsaru I’jazihi termasuk memegang ayat 3,
surat Al-Maidah ini sebagai ayat yang diturunkan paling akhir yang diturunkan
pada haji Wada’, dan setelah ayat diturunkan 81 hari sebelum Rasulullah SAW 81
hari.
Imam Al-Syayuthi menolak ayat 3 Surat
Al-Maidah sebagai ayat yang paling akhir turun dengan alasan, bahwa; pertama,
yang dimaksud dengan “menyempurnakan agama” adalah menyempurnakan kekuasaannya,
meninggikan kalimatnya, dan memperkuat wibawanya; kedua, yang dimaksud dengan
“menyempurnakan agama” adalah menyempurnakan hukum-hukum halal dan haram.
Dengan kata lain, tidak berarti setelah itu turun lagi ayat-ayat mengenai
peringatan dan nasihat.
Tetapi menurut Imam Al-Zarkasyi punya pilihan
lain. Penulis kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Qur’an ini menulis “Al-Qadhi Abu bakar
mengatakan dalam kitab Al-Intishar ”Tak satu pun dari ucapan-ucapan ini yang
marfu’ kepada Rasulullah SAW. Boleh jadi, perawinya mengatakannya sebagai suatu
jenis ijtihad dan kecenderungan dugaan. Mengetahui yang demikian bukan termasuk
kewajiban agama, ada kemungkinan, masing-masing mereka menginformasikan ayat
yang terakhir yang didengarnya dari Rasulullah SAW pada hari wafatnya atau
beberapa saat sebelum beliau sakit”.
D. Masa Turun Al-Qur’an
Rentang selama turunnya Al-Qur’an, salah satu
faktor kuat yang menyebabkan keterjagaan hafalan Nabi Muhammad SAW, dan
tetapnya dalam hati Nabi yang mulia adalah penyampaian Al-Qur’an yang dilakukan
oleh Jibril kepada nabi Muhammad SAW, pada bulan Ramadhan di setiap tahun.
Bahkan, pada tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW, Jibril menyampaikan bacaan
Al-Qur’an dua kali, sehingga dapat memahaminya pada waktu menjelang akhir
kehidupannya.
Penyampaian Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW seiring dengan periode dakwah Nabi SAW, yang meliputi periode
Mekkah dan periode Madinah. Yang pertama berlangsung lebih kurang 13 tahun
sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Dan yang terakhir berlangsung
lebih kurang selama 10 tahun, setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Ayat atau
surat Al-Qur’an yang diturunkan pada periode pertama disebut dengan ayat atau
surat Al-Makkiyah dan pada periode kedua disebut dengan Al-Madaniyah.
Ketiga pendapat Al-Ghazlan di atas, tak satu
pun yang menunjukkan secara cermat mengenai masa di mana Rasulullah SAW
menerima Al-Qur’an. Agaknya mereka memilih menggenapkan bilangan masa itu
ketimbang merincinya. Seperti diketahui, bahwa pengangkatan Muhammad bin
Abdullah yang lahir tanggal 12 Rabi’ul-Awwal menjadi nabi dan rasul pada saat
usia beliau mencapai usia 40 tahun. Sedangkan pertama kali beliau menerima
wahyu pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal saat beliau bermimpi (ru’ya shadiqah). Enam
bulan kemudian, pada bulan yang sama juga, yakni pada bulan Ramadhan, beliau
menerima ayat Al-Qur’an yang pertama turun. Sedangkan Rasulullah SAW wafat pada
usia 63 tahun. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan, bahwa Rasulullah SAW
menerima wahyu Al-Qur’an selama 22 tahun 6 bulan.
Wahyu turun kapan saja dan tidak atas
kemauan Nabi Muhammad. Adakalanya saat beliau sudah berangkat tidur lalu beliau
duduk dan senyum ( misalnya QS.108 ), atau sedang lelap dini hari ( misalnya
QS.9:118 ), sedang menetap ( misalnya QS.2:125 ), bepergian ( antara lain
QS.4:176 ), sedang berperang ( seperti QS.63 ), melaksanakan Isra’ ( yaitu
QS.43:45 ), melaksanakan Mi’raj ( seperti QS.2:284 sampai akhir ), waktu musim
dingin ( ayat mengenai fitnah terhadap Aisyah; QS.24:11 ), musim panas (
QS.9:81), serta keadaan lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sehubungan
dengan berbagai peristiwa, baik bersifat individual atau sosial
(kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun
sampai akhir hidup Rasulullah SAW. Beberapa sumber riwayat memperkirakan masa turunnya
wahyu seluruhnya 20 tahun, tetapi ada juga memperkirakan kurang lebih 25 tahun,
perkiraan ini didasarkan pada masa mukimnya Rasulullah SAW di Mekkah setelah
bi’tsah yaitu antara 10 dan 15 tahun.
E. Dalil dan Bukti Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi
Muhammad SAW melalui tiga tahap. Pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah SAW
kepada Lawh Al-Mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada
Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT terhadap manusia, ia terlebih dahulu
disampaikan kepada Lawh Al-Mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di
mana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah SWT
menjelaskan berikut ini:
Artinya:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan)
dalam Lauh Mahfuz.“(QS. Al-Buruuj:21-22)
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara
penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT ke Lawh Al-Mahfuzh. Dan manusia tidak
wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena yang dikatakan Allah
SWT.
Tahap kedua adalah turunnya ke langit pertama
dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Bayt Al-‘Izzah.
Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam Qadar, seperti dalam Surat
Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah ayat 185. Ibnu Abbas
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani: “Al-Qur’an diturunkan,
secara sekaligus, ke langit dunia pada malam Qadr. Setelah itu, ia diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Para Mufassirin mengkaji hikmah penurunan
Al-Qur’an ke langit pertama. Fakhruddin Ar-Razi, misalnya mengatakan bahwa
hikmah diturunkan Al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk kemaslahatan, yaitu
agar ia tidak jauh, baik dari Rasulullah SAW maupun dari malaikat, terutama
malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat
Ar-Razi ini dikomentari oleh Al-Hijazi. Dia mengatakan hal ini merupakan
rahasia Allah SWT. Masalah tersebut lebih tinggi dari itu semua, di mata
manusia sulit mengetahuinya.
Tahap ketiga adalah turunnya
Al-Qur’an dari Bayt Al-‘Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau 23 tahun. Jibril
menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, sehingga setiap kali wahyu
ini disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah
ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu:
Artinya: “Katakanlah: “Barang siapa yang
menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam
hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(QS.
Al-Baqarah: 97)
Klasifikasi
tahap penurunan Al-Qur’an di atas, didasarkan penyampaian Al-Qur’an dari Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas
periode penyampaian dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam,
maka penurunan Al-Qur’an dapat diklasifikasikan pula kepada periode Mekkah dan
Madinah. Periode Mekkah lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah kurang lebih
10 tahun. Dalam kajian Ulumul Al-Qur’an, hal ini disebut dengan ilmu Al-Makkiyah
Wa Al-Madaniyah. Jumlah surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak
dari jumlah surat yang diturunkan pada periode Madinah. Surat yang diturunkan
pada periode Mekkah adalah berjumlah 86 surat, sedangkan periode Madinah
berjumlah 28 surat. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan
perjalanan dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum
hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode
Madinah.
Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi
secara berangsur-angsur. Hal ini mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir.
Mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus.
Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus. Maka Al-Qur’an
menjawab kritikan dan protes kaum kafir itu. Allah menjawab dengan beberapa
berfirmannya:
Artinya: “Dan Al Quran itu telah kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.Al-Isra’:106).
F. Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Berangsur-Angsur
Paling tidak ada empat hikmah kenapa Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu:
a. Menetapkan atau menguatkan hati Nabi Muhammad SAW, seperti digambarkan
dalam ayat di atas. Dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, maka
berarti Nabi Muhammad SAW akan selalu berjumpa dengan Jibril dan menerima
Al-Qur’an. Hal ini secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi Muhammad SAW
dalam menyampaikan risalah ilahi, dia akan menjadi tegar dan kuat. Berbeda
dengan turunnya sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak
muncul lagi.
b. Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh ini, untuk
menanamkan ilmu dan amal. Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para
sahabat untuk memahami dan menghafalkannya. Betapa sulitnya memahami dan
menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan
lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu
banyak muncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Allah SAW menurunkan
ayat-ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
c. Menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat
dengan peristiwa yang sedang terjadi, yaitu; pertama, akan menimbulkan kesan
yang mendalam sehingga umat Islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka
dengan Al-Qur’an; kedua, berguna menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat
secara langsung dengan yang diturunkan ketika itu juga atau menunggu beberapa
lama, hal ini selain menimbulkan kesan yang mendalam bagi penanya, dan juga
dapat menambah keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari Allah
SWT, sehingga Nabi Muhammad SAW harus menunggu turunnya ayat yang berkenaan
dengan itu.
d. Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa Al-Qur’an
adalah kalamullah yang datang dari Allah SWT bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Jika ia kalam Nabi Muhammad SAW, maka dia dapat mengungkapkannya kapan dan di
mana saja, tidak perlu menunggu.
e. Memperkuat dan memperkokoh hati Nabi Muhammad SAW karena turunnya wahyu
baru, membuat kegembiraan yang memenuhi hati nabi, mempermudah dalam menghafal,
memahami dan hikmahnya yang di dalamnya memperkuat perkara yang haq dan
membatalkan perkara yang batal.
f. Bertahap dalam mendidik umat yang sedang tumbuh baik dengan Ilmy maupun
dengan Amaly, disamping mempermudah hafalan dan pemahaman Al-Qur’an bagi orang
arab agar kaum Muslimin menengok kepada kesalahan mereka yang perlu diperbaiki
serta menunjukkan kebenaran kepada mereka.
g. Bertahap dalam menanamkan keyakinan dan ibadah yang benar serta budi
pekerti yang luhur.
b. Menunjukkan bahwa sumber Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT sendiri.
c. Turun berangsur-angsur dalam beberapa masa, sejalan dengan situasi,
peristiwa dan kejadian kejadian.
G. Dalil-dalil Diturunkannya Al-Qur’an
dengan Tujuh Huruf
1. Imam Bukhari dan Imam Muslim
dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan
satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta
tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tujuh huruf. (Hadits Bukhari Muslim
dan lainnya)
Imam muslim
menambahkan, “Ibnu Syihab mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa tujuh
huruf itu untuk suatu perkara yang tidak diperselisihkan halal haramnya”.
2. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan yang lafalnya dari Bukhari bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata,
“Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidupnya
Rasulullah SAW aku mendengar bacaannya mengandung beberapa huruf yang belum
pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepadaku sehingga aku hampir saja beranjak
dari shalatku, namun aku menunggunya sampai salam. Setelah salam, aku menarik
sorbannya dan bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?” Ia
menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”, Aku menyela, “Engkau telah
berdusta, Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan surat yang
telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu, aku mengajaknya untuk
menghadap Rasulullah SAW lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, aku telah
mendengar lelaki ini membaca surat Al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum
pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat
Al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullah SAW menjawab, “Hai Umar! Lepaskan dia”.
Bacalah surat tersebut, wahai Hisyam!” kemudian ia membacakan bacaan yang tadi
aku dengar. Rasul SAW bersabda, “Begitulah surat itu diturunkan”, sambil
sabdanya, “Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang
paling mudah!” (Hadits Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmizi, Ahmad, dan
Ibnu Jarir).
Dalam satu riwayat lain
disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan pula bacaan Umar r.a. kemudian
beliau bersabda, “Begitulah bacaan itu diturunkan”.
3. Imam Muslim meriwayatkan
dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata, “Ketika aku berada di masjid,
tiba-tiba masuklah seorang laki-laki. Kemudian ia shalat dan membaca bacaan
yang aku ingkari. Setelah itu, masuk lagi lelaki lain yang membaca berbeda
dengan bacaan lelaki yang pertama. Setelah kami selesai shalat, kami masuk ke
rumah Rasulullah SAW, lalu aku bercerita bahwa, “si lelaki ini membaca bacaan
yang aku ingkari dan lelaki yang satunya lagi membaca berbeda dengan bacaan
lelaki yang pertama”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan keduanya untuk
membaca. Setelah mereka membaca, Rasulullah menganggap baik bacaan mereka.
Setelah menyaksikan hal itu terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan,
tidak seperti halnya diriku ketika masa jahiliyyah. Tatkala beliau melihat
diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah
berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung, beliau menegaskan pada
diriku dan berkata, “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Al-Qur’an dengan satu
huruf (lahajah / dialek), kemudian aku meminta kepada Jibril untuk memudahkan
umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, aku pun meminta lagi kepadanya
untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya, “Hai Muhammad,
bacalah Al-Qur’an dalam tujuh huruf dan terserah kepadamu Muhammad apakah
setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan / permintaan lagi”. Kemudian aku
menjawabnya, “Ya Allah, ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan
kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat semua makhluk mencintaiku sehingga
Nabi Ibrahim a.s.”.
4. Al-Hafiz Abu Ya’la dalam musnad
kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a. berkata di atas mimbar,
“Aku sebut nama Allah ketika teringat seorang laki-laki yang mendengar
Rasulullah berkata, Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya
tegas lagi sempurna”.
Ketika Umar berdiri,
hadirin pun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula
Rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang
kesemuanya tegas dan lengkap”. Kemudian Usman r.a. berkata, “Saya
menyaksikannya bersama mereka”.
5. Imam Muslim dengan sanad
dari Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika berada di oase Bani
Ghaffar didatangi Malaikat Jibril a.s. Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah
telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu
huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta kepada Allah ampunan dan maghfirahnya sebab
umatku tidak mampu menjalankan perintah itu”. Kemudian Jibril datang untuk
kedua kalinya, seraya berkata, “Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan
Al-Qur’an dengan dua huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah
kepada Allah, karena umatku tidak kuat menjalankannya”. Jibril datang lagi
untuk ketiga kalinya dan berkata, “Allah SWT memerintahkanmu untuk membacakan
Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan
dan maghfirah kepada Allah, sebab umatku tidak sanggup mengerjakannya”. Jibril
datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata, “Kau telah diperintahkan
Allah untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf dan huruf
mana saja yang mereka baca berarti benar”. (Hadits Riwayat Muslim).
6. At-Turmuzi juga meriwayatkan
dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan, “Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di
gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata, “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril
bahwa beliau diutus untuk ummat yang ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Di
antaranya ada yang kakek-kakek, nenek-nenek, dan anak-anak”. Jibril menjawab,
“Perintahkan membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmuzi mengatakan,
“Hadits ini hasan lagi sahih”. Dalam suatu lafal lain disebutkan, “Barang siapa
membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi)
membaca”. Dituturkan dalam lafal Huzaefah, “Kemudian aku berkata, “Wahai Jibril
bahwa aku diutus untuk umat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang laki-laki,
perempuan, kanak-kanak, pelayan (babu), dan kakek tua yang tidak bisa membaca
sama sekali”. Jibril berkata, “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.
7. Imam Ahmad mengeluarkan
hadits dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari Amr, bahwa ada
seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’an. Kemudian Amr berkata kepadanya,
“Sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan hal itu
kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan
dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian
saling meragukan”.
8. At-Tabari dan At-Tabrani
meriwayatkan dari Zaid bin Arqam. Ia berkata, “Seseorang menghadap Rasul SAW
lalu berkata, “Ibnu Mas’ud telah membacakan sebuah surat kepadaku seperti yang
telah dibacakan oleh Zaid bin Tsabit dan membacakan pula kepadaku Ubay bin
Ka’ab. Ternyata bacaan mereka berbeda-beda. Maka bacaan siapa yang saya
ambil?”. Rasulullah terdiam, sedangkan Ali berada di sampingnya, kemudian Ali
berkata, “Setiap orang di antara kalian hendaklah membaca menurut
pengetahuannya, karena kesemuannya baik lagi indah”.
9. Ibnu Jarir At-Tabari
mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka
bacalah semampunya dan tidak berdosa. Tetapi jangan sekali-kali mengakhiri
zikir rahmat dengan azab atau zikir azab dengan rahmat”.
H. Hikmah
Diturunkan Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1. Mempermudah umat Islam,
khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur’an, sedangkan
mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh
sifat kearabannya. Kami ambil hikmah ini dengan alasan sabda Rasulullah SAW, “Agar
mempermudah umatku”. “Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya”. Dan
lain-lain.
Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazari berkata,
“Adapun sebabnya Al-Qur’an didatangkan dengan tujuh huruf adalah memberikan
keringanan kepada umat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan,
keluasan, rahmat, dan spesialisasi yang diberikan kepada umat utama di samping
untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih
Allah telah memerintahkan umatnya untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu
huruf”. Kemudian Nabi SAW menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada
Allah karena umatku tidak mampu melakukannya”. Beliau terus mengulang-ulang
pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
Lebih lanjut lagi, Imam Jazari mengatakan,
“Seperti telah ditegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari tujuh pintu dengan
tujuh huruf, sedangkan kitab-kitab sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan
satu huruf. Hal itu karena Nabi-nabi terdahulu diutus untuk bangsa tertentu,
sedangkan Nabi SAW diutus untuk semua makhluk, kulit hitam atau kulit merah,
dan bagi orang berbangsa Arab atau orang berbangsa Ajam. Bahkan, orang-orang
Arab sendiri, walaupun Al-Qur’an diturunkan dengan bahasanya, memiliki bahasa
dan dialek yang berbeda-beda. Karena itu, sulit bagi mereka meskipun telah
belajar dan berusaha dengan keras untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.
Siapa yang tidak pernah membaca kitab seperti keterangan Rasul di atas,
meskipun mereka pun dipaksa untuk berpindah dari bahasa dan dialeknya, tidak
akan melakukannya.
2. Menyatukan umat Islam dalam
satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan di kalangan
suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan lainnya.
Oleh karena itulah, Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf yang terpilih dari
bahasa Kabilah-kabilah Arab yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy. Ini
merupakan hikmah Ilahi yang luhur karena menyatukan bahasa nasional merupakan
faktor dalam menyatukan bangsa, khususnya pada masa pertama kalinya bangsa itu
berkembang.
I.
Arti Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
“Al-Ahruf”
adalah bentuk jamak dari lafal “harf”. Lafal “harf” ini mempunyai makna yang
banyak. Salah seorang pengarang kamus mengatakan, “harf” dari segala sesuatu
berarti ujungnya atau tepinya, sedangkan “harf” gunung berarti puncaknya.
Pengertian harf ialah salah satu bentuk
huruf hijaiyah. Sebagian orang ada yang mengabdi kepada Allah secara “harf”
dalam arti hanya dari satu segi saja, yaitu mengabdi kepada Allah ketika dalam
keadaan suka, tidak dalam keadaan duka, ragu, dan tidak tenang. Dengan arti
lain, ia memasuki agama tidak secara mantap. Dengan demikia:
وَنُزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Al-Qur’an
diturunkan atas maknanya, “Dari tujuh bahasa orang-orang Arab”, bukanlah pengertiannya
bahwa setiap huruf mempunyai tujuh pengertian. Meskipun Al-Qur’an itu
diturunkan dengan tujuh huruf atau sepuluh atau lebih dari itu, pengertiannya
bahwa tujuh bahasa ini berbeda-beda dalam Al-Qur’an”.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapatlah kami simpulkan bahwa “Al-Harfu” itu dari
pengertian “lafal” yang mempunyai beberapa pengertian. Dan yang dimaksud dengan
“lafal” adalah salah satu arti yang ditentukan oleh alasan-alasan dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
lafal “Al-Harf” adalah “wajah” (segi), dengan alasan sabda Rasul SAW:
اُنْزِلَ الْقُرْاَنُ
عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Artinya: “Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk
tujuh huruf”.عَلَى ialah menunjukkan
bahwa syarat di sini untuk memperluas dan mempermudah dalam arti Al-Qur’an
diturunkan dengan keluasan bagi pembacanya untuk membaca dengan bentuk tujuh
wajah (bacaan). Ia boleh dibaca dengan wajah yang dikehendaki si pembaca
sebagai ganti dari pemiliknya. Seolah-olah Rasul bersabda bahwa Al-Qur’an
diturunkan dengan syarat dan keluasan semacam ini.
III. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa kesimpulan yakni:
1. Al-Qur’an pertama kali
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian
atau di waktu Nabi Muhammad SAW telah di angkat menjadi Nabi Muhammad SAW, dan
peringati sebagai Nuzulul Qur’an. Sebenarnya para ulama mengenai hal ini tidak
sependapat. Ada tiga pendapat, mengenai ayat atau surat pertama sekali turun,
yaitu ada yang mengatakan Surat Al-Fatihah, Surat Al-Mudatstsir, dan jumhur
ulama berpendapat bahwa ayat pertama turun ialah Surat Al-‘Alaq 1-5.
2. Para ulama tidak sepakat
mengenai ayat terakhir turun. Terdapat banyak pendapat mengatakan bahwa ayat
yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, An-Nisa’ ayat 176,
At-Taubah ayat 128-129, dan yang paling populer adalah Surat Al-Maidah ayat 3.
Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah Surat Al-Baqarah ayat 281.
3. Penyampaian Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad SAW seiring dengan periode dakwah Nabi SAW, yang meliputi periode
Mekkah dan periode Madinah. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sehubungan dengan
berbagai peristiwa, baik bersifat individual atau sosial (kemasyarakatan) yang
terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai akhir hidup
Rasulullah SAW.
4. Al-Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal
ini dibuktikan dengan jumlah 86 surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih
banyak dari jumlah 28 surat yang diturunkan pada periode Madinah. Perbedaan
antara kedua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah islam oleh
Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang disebut periode
Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode Madinah. Dalilnya dapat dilihat
pada Surat Al-Furqan ayat 32 dan Surat Al-Isra’ ayat 106.
5. Pada masa sekarang ini para ulama telah sepakat untuk berpedoman kepada
bacaan yang benar dari mereka (tujuh qari’). Penurunan Al-Qur’an dengan tujuh
huruf itu sebagai kelapangan dari Allah dan rahmat bagi umat-Nya. Karena itu,
kalau masing-masing kelompok itu dipaksakan maka setiap kelompok tadi akan
melupakan bahasanya dan berpaling dari kebiasaan yang mereka lakukan, baik
berupa imalah, hamaz, itsmam, mad maupun yang lainnya karena menyulitkan bagi
mereka.
Oleh. Syihabudin M,S.Pd.I
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al Qaththan,
Manna’ , Mabâhis fî ulûm al-Qur’ân, Riyad, cet-3, Tahun, 1973
2.
Ash-Shidiqie,
Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang,
Tahun 1994.
3.
Al-’Utsaimin
, Shalih ,Ushulun fi At-Tafsiri, (hlm. 36—38), penerbit: Cahaya Tauhid
Press
4.
Zainu Jamil,
“Pemahaman Al Qur’an”,. Penerbit: Gema Risalah Press, Bandung; Cet.
Pertama: September 1997
5.
As-Shalih,
Subuhi, (2001), Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
6.
Ash
shaabuniy,Muhammad Ali, studi ilmu Al Qur’an, penerbit pustaka setia
Bandung, 1998
7.
Shihab, M.
Quraish, (1996), Membumikan Al-Qur’an¸ Bandung: Mizan.