Minggu, 11 November 2012

TURUNNYA AL QUR'AN



NUZULUL QUR’AN


I. Pendahuluan
            Ketika Al-Quran turun kepada Nabi SAW, beliau menyampaikan kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafalnya lafaznya, dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memelihara) Al-Qur’an dan dalam memperolehnya.
             Allah SWT menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus sebagaimana kitab-kitab yang kita ketahui, akan tetapi sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur, sebab ada suatu hikmah atau rahasia yang terkandung di dalamnya. Wahyu itu diturunkan pada setiap ada peristiwa atau kejadian, supaya mereka kaum muslimin bertetap hati, tidak merasa jenuh dan Nabi sering dikunjungi oleh malaikat Jibril untuk dibangun kegembiraan dan kesenangan hati. Dengan demikian Nabi selalu merasa gembira karenanya. Untuk orang-orang yang ummi akan lebih mudah cara menghafalnya dan memahami. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril adalah secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Kadang-kadang turun hanya terdiri dari beberapa ayat saja, dan kadang-kadang terdiri dari beberapa ayat, lima sampai sepuluh ayat bahkan ada yang hanya satu ayat. Tetapi ada pula yang sekali turun terdiri dari satu surat lengkap yaitu terdiri dari beberapa surat yang pendek, seperti Surat Al-fatihah, Surat Al-Ikhlas, Al-Alaq, dan sebagainya.
            Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau Al-Qur’an itu, sebagaimana apa yang telah kita dengar, telah dihafal oleh sejumlah besar para sahabat. Karena salah satu hikmah Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur menurut hemat penulis adalah agar lebih mudah dihafal ataupun dipahami oleh umat Rasulullah SAW dikemudian hari.
II. Pembahasan
A.    Periode Turunnya Al-Quran
            Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
            Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
            Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
            Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Periode Pertama
            Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah :
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad)
2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit (daripadanya)
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya:

1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
2. bangunlah, lalu berilah peringatan!
3. dan Tuhanmu agungkanlah!
4. dan pakaianmu bersihkanlah,
5. dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
6. dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih  
    banyak.
7. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya:

1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit
    (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Ayat lain, umpamanya:
  
214. dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
215. dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-
       orang yang beriman.
216. jika mereka mendurhakaimu Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak  
       bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan"; (QS 26:214-216).
            Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
            Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
            Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
  1. Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
  2. Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami."
  3. Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
            Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
            Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah. Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti:

125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad:

13. jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud".(QS 41:13).
            Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82). 
78. dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia   
      berkata: "Siapakah yang dapat  menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur  
      luluh?"
79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
      pertama. dan  Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
80. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, Maka tiba-tiba   
      kamu nyalakan (api) dari kayu itu".
81. dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan   
      yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi  
      Maha mengetahui.
82. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata  
      kepadanya:    "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
            Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya."
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
            Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan:  (QS 9:13-14).
   
13. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
14. perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. (QS 9:13-14).
            Adakalanya pula perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
            Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
            Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
            Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64). 
 B.     Ayat yang Pertama Turun
             Agama Islam adalah agama yang dianut oleh ratusan juta bahkan miliaran kaum muslim seluruh dunia, dan merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat, karena agama Islam mempunyai satu sendi utama yang esensial berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya; yaitu kalamulah.
            Al-Qur’an pertama kali turun pada malam Lailatul Qadr di sebuah gua Hira dengan ayat yang pertama dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5, ini didasarkan pada firman Allah SWT, pada Surat Al-Qadr, dan ayat yang terakhir turun adalah ayat mengenai riba. Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian atau di waktu Nabi Muhammad SAW telah di angkat menjadi Nabi Muhammad SAW. Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati oleh umat Islam Indonesia setiap tahun sebagai malam peringatan Nuzulul Qur’an. Sebenarnya para ulama mengenai hal ini tidak sependapat. Ada tiga pendapat, mengenai ayat atau surat pertama sekali turun, yaitu ada yang mengatakan Surat Al-Fatihah, Surat Al-Mudatstsir, dan pendapat yang terkuat adalah Surat Al-‘Alaq. Semua pendapat ini masing-masing mempunyai alasan.
            Pendapat yang lain mengatakan, bahwa ayat yang pertama diturunkan adalah Surat Al-Mudatstsir berhujjah dengan hadits riwayat Asy-Syaikhani, yang diterima dari Abi Salamah bin Abdurrahman. Dia berkata, saya bertanya kepada Jabir bin Abdullah “Ayat apa yang turun sebelum segalanya? Jabir berkata, saya bertanya kepada Jabir bin Abdullah: “Ya Ayyuhal Mudatstsir.” Kemudian aku berkata, atau “Iqra’ Bismi Rabbika”? jabir berkata: “Saya ceritakan kepadamu apa yang diceritakan oleh Rasulullah kepada kami.” Rasulullah berkata “ Aku mengasingkan diri di gua Hira, setelah aku pun turun ke lembah, kemudian aku dipanggil oleh seorang, maka aku menoleh ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri (tapi tiada siapa-siapa). Selanjutnya aku melihat ke atas, ternyata ada Jibril, kemudian aku menggigil, aku lalu datang kepada Khadijah. Aku menyuruh orang-orang menyelimutiku. Maka Allah SWT menurunkan ayat “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir.” Demikian pula pendapat-pendapat yang lain, masing-masing didukung oleh hadits. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa ayat pertama turun ialah Surat Al-‘Alaq 1-5 berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari, yang diterima dari Aisyah ra, , yaitu:
 Artinya: “ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
            Tentang ayat pertama turun Imam Al-Bukhari meriwayatkan dua hadits yang berbeda. Salah satunya mengatakan bahwa ayat pertama turun adalah lima ayat pertama Surat Al-‘Alaq (seperti teks di atas). Hadits riwayat Imam Al-Bukhari yang bersumber dari Aisyah ra ini menyatakan sahih oleh dua tokoh hadits yang lain. Yaitu oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Al-Baihaqiy dalam Dalil-nya. Kemudian Al-Thabraniy dalam kitabnya Al-Kabir dengan sanad-nya sendiri- yang bersumber dari Abi Raja Al-Aththardiy menyatakan:”Abu Musa mengajarkan kami mengaji. Beliau menyuruh kami duduk ber-halaqah. Beliau mengenakan dua baju putih. Jika beliau membaca surat ini:

             Beliau menyatakan: “Ini adalah surat pertama yang turun kepada Muhammad SAW. Imam Al-Bukhari juga memang meriwayatkan dua hadits yang seakan-akan berbeda mengenai satu masalah. Yakni ayat yang pertama turun. Mari kita simak riwayat Imam Al-Bukhari, dan Imam Muslim dari Abu Salamah bin Abdal Rahman bin ‘Auf yang mengatakan “Aku pernah menanya Jabir bin Abdullah: (ayat) Al-Qur’an manakah turun terlebih dahulu?” Ia menjawab: “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir.” Lalu kukatakan “Ataukah “Iqra’ Bismi Rabbika?” Ia (Jabir) lalu mengatakan: “Akan kuceritakan kepadamu, apa yang diceritakan Rasulullah.” Rasulullah pernah bersabda:”Sesungguhnya aku pernah di gua Hira. Seusai aku menyendiri di sana, aku keluar. Aku menuruni lembah. Kemudian aku dipanggil. Aku melihat ke depan dan ke belakangku, ke kanan dan ke kiriku. Kemudian aku menatap ke langit. Tiba-tiba dia (maksudnya Jibril) tengah duduk di atas Arsy antara langit dan bumi. Aku gemetar. Maka kudatangi Khadijah dan dia menyelimutiku. Kemudian Allah SWT menurunkan: “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir.” (Wahai orang yang tengah berselimut. Bangunlah, maka berilah peringatan).
            Sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan menurut penulis menyangkut hadits di atas. Pertama, kalimat Abu Salamah yang berbunyi:” Ataukah Iqra’ Bismi Rabbika?” ini artinya, Abu Salamah tidak serta merta menerima keterangan Jabir yang mengatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah “Ya Ayyuhal Mudatstsir qum fa anzir” itu. Dan, kalimat Abu Salamah yang berbentuk pertanyaan (Ataukah Iqra’ Bismi Rabbika?) itu sesungguhnya bantahan secara halus terhadap keterangan Jabir. Tetapi oleh karena dalam masalah ini status Abu Salamah sebagai orang yang bertanya (katakanlah murid), tentu ia harus bersikap sopan, tidak membantah ulang keterangan Jabir bin Abdullah; kedua, kecuali hadits di atas, Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang lain dari Abu Salamah dan dari Jabir. Intinya berbunyi “Ketika aku (maksudnya Rasulullah SAW) tengah berjalan, tiba-tiba aku mendengar suatu jenis suara dari langit. Aku lalu mengarahkan pandangan ke arah langit. Rupanya malaikat yang telah mendatangiku di gua Hira tengah duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku takut, sampai-sampai aku terperosok ke tanah. Aku kemudian mendatangi keluargaku dan kukatakan “Selimuti aku, selimuti aku”. Lalu Allah SWT menurunkan ayat: 
 Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!, Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS. Al-Muddatstsir:1-5)
             Adanya pengakuan Rasulullah yang berbunyi: “Rupanya malaikat yang tengah mendatangiku di Hira…” menunjukkan bahwa sebelum peristiwa turunnya Surat Al-Muddatstsir, Rasulullah telah bertemu Jibril di Hira. Dengan dasar dua alasan tadi, kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang pertama sekali turun adalah ayat 1-5 Surat Al-Alaq. Sementara itu, Surat Al-Muddatstsir mereka nyatakan diturunkan, bukan yang pertama kali turun. Menurut penulis, mungkin saja timbul pertanyaan: Apakah kegunaan kita mengetahui ayat lebih dahulu turun dibandingkan dengan ayat lainnya? Pertanyaan seperti ini memang bisa saja timbul terutama dari orang yang awam terhadap hakikat Al-Qur’an.
             Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya dikutip apa yang tulis oleh Syekh Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarganiy. Penulis kitab Manahil Al-‘Irfan ini, melihat sedikitnya ada tiga faedah yang dapat dipetik dari mengetahui hal seperti ini, yaitu:
 1. “Untuk membedakan ayat mana yang nasikh dan mana mansukh. Jika ditemui atau beberapa ayat yang berbeda mengenai satu masalah, maka dengan mengetahui ayat yang mana turun lebih dahulu dan belakangan, dapat diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
 2. Untuk mengetahui Tarikh Tasyri’. Artinya, perjalanan sejarah penetapan hukum Islam dapat ditangkap secara lebih jelas dengan mengetahui hal ini.
 3. Untuk dapat mengikuti secara pasti perjalanan turunnya Al-Qur’an yang berangsur-angsur. Dengan demikian bisa ditangkap taktik strategi dakwah Islam di dalam mengajak orang kepada jalan Allah SWT.”
C. Surat yang Terakhir Turun
 Ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 281, yaitu:
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)”.(QS. Al-Baqarah: 281)
            Para ulama tidak sepakat mengenai ayat terakhir turun. Selain dari pendapat di atas, terdapat pula pendapat lain yaitu di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, An-Nisa’ ayat 176, At-Taubah ayat 128-129, dan yang paling populer adalah Surat Al-Maidah ayat 3. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah pendapat di atas, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 281. Masing-masing pendapat ini mempunyai alasan, tetapi alasan itu kurang kuat jika dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang terakhir turun tersebut Surat Al-Baqarah ayat 281. Tapi menurut Salman Harun bahwa ayat terakhir yang turun adalah ayat ke lima dari Surat Al-Maidah. Isinya adalah pesan bahwa ajaran Tuhan tentang manusia dan kemanusiaan telah sempurna diberikan lewat Al-Qur’an. Sesuai dengan makna Al-Maidah yaitu “ hidangan”, maka untuk mencapai kesempurnaan manusia dan kemanusiaan tersebut, perlu ada sesuatu yang dihidangkan yaitu pendidikan dan pengajaran. Mayoritas ulama berpendapat bahwa terakhirnya turunnya Al-Qur’an ialah hari Jumat, 9 Dzulhijah tahun 10 H atau tahun 63 kelahiran Nabi Muhammad SAW atau sama dengan bulan Maret 632 M, pada saat itu nabi sedang berwukuf di Padang Arafah dalam menyelenggarakan haji yang dikenal dengan haji Wada’. Sa’id bin Al-Khudri, sebagaimana dikutip oleh As-Syayuti, mengatakan, ayat ini turun kepada Nabi Muhammad SAW sembilan hari menjelang beliau wafat.
            Menurut pendapat yang lain masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun yang marfu’ kepada Nabi Muhammad SAW. Riwayat-riwayat yang semuanya bersumber dari sahabat dan tabi’in. Itulah sebabnya mengapa di dalam menunjuk ayat yang paling akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat. Dan, riwayat-riwayat yang hanya sekali tidak selamanya menunjukkan turunnya ayat. Tidak jarang di antaranya yang menunjuk pada surat. Bersama ini kita uraikan beberapa riwayat di antaranya:
 a. Riwayat pertama yang paling akhir turun adalah firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 281, yaitu :
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)”.(QS. Al-Baqarah: 281)
 Dalil yang dipegang adalah:
 1) Riwayat yang dikeluarkan oleh Nasa’i dari ‘Ikhrimah, dari Ibnu Abbas.
 2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Sa’id Jubair.
 3) Riwayat Ibnu Jari, dari Ibnu Jurai.
 4) Riwayat Al-Baihaqiy, dari Ibnu Abbas.
 b. Riwayat kedua ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, yaitu:  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah:278)
 Riwayat yang sama, juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqy.
 c. Riwayat ketiga ayat yang terakhir adalah Surat Al-Baqarah ayat 282, yaitu: 
  Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS.Baqarah:282)
 Riwayat ini merujuk pada:
 1) Riwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa’id bin Al-Musayyab.
 2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ubaid, dari Ibnu Syihab.
 Mengomentari ketiga riwayat di atas, Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dan Dr. Muhammad Yusuf Al-Qasim dalam masalah ini sepakat dengan Imam Al-Syayuthi mengatakan: “Ketiga riwayat ini mungkin sekali dikompromikan”. Jelas, kata kedua guru besar Ilmu Al-Qur’an dari Universitas Al-Azhar ini, bahwa ketiga ayat yang ditunjuk oleh ketiga riwayat di atas diturunkan sekaligus karena letaknya yang boleh dikatakan berurutan dan kisahnya masih satu rangkaian.
 d. Riwayat keempat ayat yang terakhir turun adalah Surat Maidah ayat 3, yaitu:
   Artinya: “…pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”( QS. Al-Maidah:3)
            Menurut Ibnu Abbas, ayat ini turun 81 hari sebelum Rasulullah SAW wafat. Jadi, inilah pendapat yang kuat dibandingkan dengan pendapat yang populer di kalangan umat Islam, bahwa ayat yang terakhir adalah Surat Al-Maidah ayat 3. Ayat ini turun di Padang Arafah ketika Rasulullah menunaikan haji terakhir, dan dia masih hidup beberapa bulan lagi setelah itu. Setelah Surat Al-Baqarah ayat 281, turun 9 hari atau 81 hari menjelang Rasulullah SAW wafat.
             Syekh Muhammad Al-Khudhari dalam kitabnya, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam kitabnya Al-Qur’an Wasfhuhu, Hidayatuhu, ‘Atsaru I’jazihi termasuk memegang ayat 3, surat Al-Maidah ini sebagai ayat yang diturunkan paling akhir yang diturunkan pada haji Wada’, dan setelah ayat diturunkan 81 hari sebelum Rasulullah SAW 81 hari.
             Imam Al-Syayuthi menolak ayat 3 Surat Al-Maidah sebagai ayat yang paling akhir turun dengan alasan, bahwa; pertama, yang dimaksud dengan “menyempurnakan agama” adalah menyempurnakan kekuasaannya, meninggikan kalimatnya, dan memperkuat wibawanya; kedua, yang dimaksud dengan “menyempurnakan agama” adalah menyempurnakan hukum-hukum halal dan haram. Dengan kata lain, tidak berarti setelah itu turun lagi ayat-ayat mengenai peringatan dan nasihat.
             Tetapi menurut Imam Al-Zarkasyi punya pilihan lain. Penulis kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Qur’an ini menulis “Al-Qadhi Abu bakar mengatakan dalam kitab Al-Intishar ”Tak satu pun dari ucapan-ucapan ini yang marfu’ kepada Rasulullah SAW. Boleh jadi, perawinya mengatakannya sebagai suatu jenis ijtihad dan kecenderungan dugaan. Mengetahui yang demikian bukan termasuk kewajiban agama, ada kemungkinan, masing-masing mereka menginformasikan ayat yang terakhir yang didengarnya dari Rasulullah SAW pada hari wafatnya atau beberapa saat sebelum beliau sakit”.
D.   Masa Turun Al-Qur’an
             Rentang selama turunnya Al-Qur’an, salah satu faktor kuat yang menyebabkan keterjagaan hafalan Nabi Muhammad SAW, dan tetapnya dalam hati Nabi yang mulia adalah penyampaian Al-Qur’an yang dilakukan oleh Jibril kepada nabi Muhammad SAW, pada bulan Ramadhan di setiap tahun. Bahkan, pada tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW, Jibril menyampaikan bacaan Al-Qur’an dua kali, sehingga dapat memahaminya pada waktu menjelang akhir kehidupannya.
            Penyampaian Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW seiring dengan periode dakwah Nabi SAW, yang meliputi periode Mekkah dan periode Madinah. Yang pertama berlangsung lebih kurang 13 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Dan yang terakhir berlangsung lebih kurang selama 10 tahun, setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Ayat atau surat Al-Qur’an yang diturunkan pada periode pertama disebut dengan ayat atau surat Al-Makkiyah dan pada periode kedua disebut dengan Al-Madaniyah.
             Ketiga pendapat Al-Ghazlan di atas, tak satu pun yang menunjukkan secara cermat mengenai masa di mana Rasulullah SAW menerima Al-Qur’an. Agaknya mereka memilih menggenapkan bilangan masa itu ketimbang merincinya. Seperti diketahui, bahwa pengangkatan Muhammad bin Abdullah yang lahir tanggal 12 Rabi’ul-Awwal menjadi nabi dan rasul pada saat usia beliau mencapai usia 40 tahun. Sedangkan pertama kali beliau menerima wahyu pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal saat beliau bermimpi (ru’ya shadiqah). Enam bulan kemudian, pada bulan yang sama juga, yakni pada bulan Ramadhan, beliau menerima ayat Al-Qur’an yang pertama turun. Sedangkan Rasulullah SAW wafat pada usia 63 tahun. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan, bahwa Rasulullah SAW menerima wahyu Al-Qur’an selama 22 tahun 6 bulan.
            Wahyu turun kapan saja dan tidak atas kemauan Nabi Muhammad. Adakalanya saat beliau sudah berangkat tidur lalu beliau duduk dan senyum ( misalnya QS.108 ), atau sedang lelap dini hari ( misalnya QS.9:118 ), sedang menetap ( misalnya QS.2:125 ), bepergian ( antara lain QS.4:176 ), sedang berperang ( seperti QS.63 ), melaksanakan Isra’ ( yaitu QS.43:45 ), melaksanakan Mi’raj ( seperti QS.2:284 sampai akhir ), waktu musim dingin ( ayat mengenai fitnah terhadap Aisyah; QS.24:11 ), musim panas ( QS.9:81), serta keadaan lainnya.
             Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sehubungan dengan berbagai peristiwa, baik bersifat individual atau sosial (kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah SAW. Beberapa sumber riwayat memperkirakan masa turunnya wahyu seluruhnya 20 tahun, tetapi ada juga memperkirakan kurang lebih 25 tahun, perkiraan ini didasarkan pada masa mukimnya Rasulullah SAW di Mekkah setelah bi’tsah yaitu antara 10 dan 15 tahun.
E.    Dalil dan Bukti Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur
            Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap. Pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah SAW kepada Lawh Al-Mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada Lawh Al-Mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di mana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah SWT menjelaskan berikut ini:
   Artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuz.“(QS. Al-Buruuj:21-22)
 Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT ke Lawh Al-Mahfuzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena yang dikatakan Allah SWT.
             Tahap kedua adalah turunnya ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Bayt Al-‘Izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam Qadar, seperti dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah ayat 185. Ibnu Abbas mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani: “Al-Qur’an diturunkan, secara sekaligus, ke langit dunia pada malam Qadr. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
             Para Mufassirin mengkaji hikmah penurunan Al-Qur’an ke langit pertama. Fakhruddin Ar-Razi, misalnya mengatakan bahwa hikmah diturunkan Al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk kemaslahatan, yaitu agar ia tidak jauh, baik dari Rasulullah SAW maupun dari malaikat, terutama malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat Ar-Razi ini dikomentari oleh Al-Hijazi. Dia mengatakan hal ini merupakan rahasia Allah SWT. Masalah tersebut lebih tinggi dari itu semua, di mata manusia sulit mengetahuinya.
            Tahap ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari Bayt Al-‘Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, sehingga setiap kali wahyu ini disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu:  
 Artinya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Baqarah: 97)
            Klasifikasi tahap penurunan Al-Qur’an di atas, didasarkan penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas periode penyampaian dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam, maka penurunan Al-Qur’an dapat diklasifikasikan pula kepada periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah kurang lebih 10 tahun. Dalam kajian Ulumul Al-Qur’an, hal ini disebut dengan ilmu Al-Makkiyah Wa Al-Madaniyah. Jumlah surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak dari jumlah surat yang diturunkan pada periode Madinah. Surat yang diturunkan pada periode Mekkah adalah berjumlah 86 surat, sedangkan periode Madinah berjumlah 28 surat. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode Madinah.
             Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus. Maka Al-Qur’an menjawab kritikan dan protes kaum kafir itu. Allah menjawab dengan beberapa berfirmannya: 
 Artinya: “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.Al-Isra’:106).
F.    Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Berangsur-Angsur
 Paling tidak ada empat hikmah kenapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu:
a.       Menetapkan atau menguatkan hati Nabi Muhammad SAW, seperti digambarkan dalam ayat di atas. Dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, maka berarti Nabi Muhammad SAW akan selalu berjumpa dengan Jibril dan menerima Al-Qur’an. Hal ini secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah ilahi, dia akan menjadi tegar dan kuat. Berbeda dengan turunnya sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak muncul lagi.
b.      Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh ini, untuk menanamkan ilmu dan amal. Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat untuk memahami dan menghafalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu banyak muncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Allah SAW menurunkan ayat-ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
c.       Menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan peristiwa yang sedang terjadi, yaitu; pertama, akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat Islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka dengan Al-Qur’an; kedua, berguna menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat secara langsung dengan yang diturunkan ketika itu juga atau menunggu beberapa lama, hal ini selain menimbulkan kesan yang mendalam bagi penanya, dan juga dapat menambah keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari Allah SWT, sehingga Nabi Muhammad SAW harus menunggu turunnya ayat yang berkenaan dengan itu.
d.      Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang datang dari Allah SWT bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Jika ia kalam Nabi Muhammad SAW, maka dia dapat mengungkapkannya kapan dan di mana saja, tidak perlu menunggu.
e.       Memperkuat dan memperkokoh hati Nabi Muhammad SAW karena turunnya wahyu baru, membuat kegembiraan yang memenuhi hati nabi, mempermudah dalam menghafal, memahami dan hikmahnya yang di dalamnya memperkuat perkara yang haq dan membatalkan perkara yang batal.
f.       Bertahap dalam mendidik umat yang sedang tumbuh baik dengan Ilmy maupun dengan Amaly, disamping mempermudah hafalan dan pemahaman Al-Qur’an bagi orang arab agar kaum Muslimin menengok kepada kesalahan mereka yang perlu diperbaiki serta menunjukkan kebenaran kepada mereka.
g.      Bertahap dalam menanamkan keyakinan dan ibadah yang benar serta budi pekerti yang luhur.
b.      Menunjukkan bahwa sumber Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT sendiri.
c.       Turun berangsur-angsur dalam beberapa masa, sejalan dengan situasi, peristiwa dan kejadian kejadian.
G. Dalil-dalil Diturunkannya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.    Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tujuh huruf. (Hadits Bukhari Muslim dan lainnya)
Imam muslim menambahkan, “Ibnu Syihab mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa tujuh huruf itu untuk suatu perkara yang tidak diperselisihkan halal haramnya”.
2.    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang lafalnya dari Bukhari bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidupnya Rasulullah SAW aku mendengar bacaannya mengandung beberapa huruf yang belum pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepadaku sehingga aku hampir saja beranjak dari shalatku, namun aku menunggunya sampai salam. Setelah salam, aku menarik sorbannya dan bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”, Aku menyela, “Engkau telah berdusta, Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu, aku mengajaknya untuk menghadap Rasulullah SAW lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, aku telah mendengar lelaki ini membaca surat Al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullah SAW menjawab, “Hai Umar! Lepaskan dia”. Bacalah surat tersebut, wahai Hisyam!” kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar. Rasul SAW bersabda, “Begitulah surat itu diturunkan”, sambil sabdanya, “Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah!” (Hadits Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmizi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).
          Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan pula bacaan Umar r.a. kemudian beliau bersabda, “Begitulah bacaan itu diturunkan”.
3.    Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata, “Ketika aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki. Kemudian ia shalat dan membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu, masuk lagi lelaki lain yang membaca berbeda dengan bacaan lelaki yang pertama. Setelah kami selesai shalat, kami masuk ke rumah Rasulullah SAW, lalu aku bercerita bahwa, “si lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan lelaki yang satunya lagi membaca berbeda dengan bacaan lelaki yang pertama”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan keduanya untuk membaca. Setelah mereka membaca, Rasulullah menganggap baik bacaan mereka. Setelah menyaksikan hal itu terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa jahiliyyah. Tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung, beliau menegaskan pada diriku dan berkata, “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf (lahajah / dialek), kemudian aku meminta kepada Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, aku pun meminta lagi kepadanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya, “Hai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dalam tujuh huruf dan terserah kepadamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan / permintaan lagi”. Kemudian aku menjawabnya, “Ya Allah, ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibrahim a.s.”.
4.    Al-Hafiz Abu Ya’la dalam musnad kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a. berkata di atas mimbar, “Aku sebut nama Allah ketika teringat seorang laki-laki yang mendengar Rasulullah berkata, Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas lagi sempurna”.
          Ketika Umar berdiri, hadirin pun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula Rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas dan lengkap”. Kemudian Usman r.a. berkata, “Saya menyaksikannya bersama mereka”.
5.    Imam Muslim dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika berada di oase Bani Ghaffar didatangi Malaikat Jibril a.s. Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta kepada Allah ampunan dan maghfirahnya sebab umatku tidak mampu menjalankan perintah itu”. Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya, seraya berkata, “Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an dengan dua huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah, karena umatku tidak kuat menjalankannya”. Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata, “Allah SWT memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah, sebab umatku tidak sanggup mengerjakannya”. Jibril datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata, “Kau telah diperintahkan Allah untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf dan huruf mana saja yang mereka baca berarti benar”. (Hadits Riwayat Muslim).
6.    At-Turmuzi juga meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan, “Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata, “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa beliau diutus untuk ummat yang ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Di antaranya ada yang kakek-kakek, nenek-nenek, dan anak-anak”. Jibril menjawab, “Perintahkan membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmuzi mengatakan, “Hadits ini hasan lagi sahih”. Dalam suatu lafal lain disebutkan, “Barang siapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”. Dituturkan dalam lafal Huzaefah, “Kemudian aku berkata, “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk umat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang laki-laki, perempuan, kanak-kanak, pelayan (babu), dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril berkata, “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.
7.    Imam Ahmad mengeluarkan hadits dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari Amr, bahwa ada seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’an. Kemudian Amr berkata kepadanya, “Sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan hal itu kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian saling meragukan”.
8.   At-Tabari dan At-Tabrani meriwayatkan dari Zaid bin Arqam. Ia berkata, “Seseorang menghadap Rasul SAW lalu berkata, “Ibnu Mas’ud telah membacakan sebuah surat kepadaku seperti yang telah dibacakan oleh Zaid bin Tsabit dan membacakan pula kepadaku Ubay bin Ka’ab. Ternyata bacaan mereka berbeda-beda. Maka bacaan siapa yang saya ambil?”. Rasulullah terdiam, sedangkan Ali berada di sampingnya, kemudian Ali berkata, “Setiap orang di antara kalian hendaklah membaca menurut pengetahuannya, karena kesemuannya baik lagi indah”.
9.    Ibnu Jarir At-Tabari mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah semampunya dan tidak berdosa. Tetapi jangan sekali-kali mengakhiri zikir rahmat dengan azab atau zikir azab dengan rahmat”.
H.        Hikmah Diturunkan Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.  Mempermudah umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur’an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat kearabannya. Kami ambil hikmah ini dengan alasan sabda Rasulullah SAW, “Agar mempermudah umatku”. “Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya”. Dan lain-lain.
     Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazari berkata, “Adapun sebabnya Al-Qur’an didatangkan dengan tujuh huruf adalah memberikan keringanan kepada umat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat, dan spesialisasi yang diberikan kepada umat utama di samping untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah telah memerintahkan umatnya untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf”. Kemudian Nabi SAW menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah karena umatku tidak mampu melakukannya”. Beliau terus mengulang-ulang pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
     Lebih lanjut lagi, Imam Jazari mengatakan, “Seperti telah ditegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf, sedangkan kitab-kitab sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf. Hal itu karena Nabi-nabi terdahulu diutus untuk bangsa tertentu, sedangkan Nabi SAW diutus untuk semua makhluk, kulit hitam atau kulit merah, dan bagi orang berbangsa Arab atau orang berbangsa Ajam. Bahkan, orang-orang Arab sendiri, walaupun Al-Qur’an diturunkan dengan bahasanya, memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Karena itu, sulit bagi mereka meskipun telah belajar dan berusaha dengan keras untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf. Siapa yang tidak pernah membaca kitab seperti keterangan Rasul di atas, meskipun mereka pun dipaksa untuk berpindah dari bahasa dan dialeknya, tidak akan melakukannya.
2.  Menyatukan umat Islam dalam satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan di kalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan lainnya. Oleh karena itulah, Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf yang terpilih dari bahasa Kabilah-kabilah Arab yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy. Ini merupakan hikmah Ilahi yang luhur karena menyatukan bahasa nasional merupakan faktor dalam menyatukan bangsa, khususnya pada masa pertama kalinya bangsa itu berkembang.
I.  Arti Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
            “Al-Ahruf” adalah bentuk jamak dari lafal “harf”. Lafal “harf” ini mempunyai makna yang banyak. Salah seorang pengarang kamus mengatakan, “harf” dari segala sesuatu berarti ujungnya atau tepinya, sedangkan “harf” gunung berarti puncaknya. Pengertian harf  ialah salah satu bentuk huruf hijaiyah. Sebagian orang ada yang mengabdi kepada Allah secara “harf” dalam arti hanya dari satu segi saja, yaitu mengabdi kepada Allah ketika dalam keadaan suka, tidak dalam keadaan duka, ragu, dan tidak tenang. Dengan arti lain, ia memasuki agama tidak secara mantap. Dengan demikia:                   وَنُزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
            Al-Qur’an diturunkan atas maknanya, “Dari tujuh bahasa orang-orang Arab”, bukanlah pengertiannya bahwa setiap huruf mempunyai tujuh pengertian. Meskipun Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf atau sepuluh atau lebih dari itu, pengertiannya bahwa tujuh bahasa ini berbeda-beda dalam Al-Qur’an”.
            Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah kami simpulkan bahwa “Al-Harfu” itu dari pengertian “lafal” yang mempunyai beberapa pengertian. Dan yang dimaksud dengan “lafal” adalah salah satu arti yang ditentukan oleh alasan-alasan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan lafal “Al-Harf” adalah “wajah” (segi), dengan alasan sabda Rasul SAW:                                   اُنْزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Artinya: “Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk tujuh huruf”.عَلَى ialah menunjukkan bahwa syarat di sini untuk memperluas dan mempermudah dalam arti Al-Qur’an diturunkan dengan keluasan bagi pembacanya untuk membaca dengan bentuk tujuh wajah (bacaan). Ia boleh dibaca dengan wajah yang dikehendaki si pembaca sebagai ganti dari pemiliknya. Seolah-olah Rasul bersabda bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan syarat dan keluasan semacam ini.
III.       Penutup
 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan yakni:
 1. Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian atau di waktu Nabi Muhammad SAW telah di angkat menjadi Nabi Muhammad SAW, dan peringati sebagai Nuzulul Qur’an. Sebenarnya para ulama mengenai hal ini tidak sependapat. Ada tiga pendapat, mengenai ayat atau surat pertama sekali turun, yaitu ada yang mengatakan Surat Al-Fatihah, Surat Al-Mudatstsir, dan jumhur ulama berpendapat bahwa ayat pertama turun ialah Surat Al-‘Alaq 1-5.
 2. Para ulama tidak sepakat mengenai ayat terakhir turun. Terdapat banyak pendapat mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 278, An-Nisa’ ayat 176, At-Taubah ayat 128-129, dan yang paling populer adalah Surat Al-Maidah ayat 3. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah Surat Al-Baqarah ayat 281.
 3. Penyampaian Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW seiring dengan periode dakwah Nabi SAW, yang meliputi periode Mekkah dan periode Madinah. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sehubungan dengan berbagai peristiwa, baik bersifat individual atau sosial (kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah SAW.
 4. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini dibuktikan dengan jumlah 86 surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak dari jumlah 28 surat yang diturunkan pada periode Madinah. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah islam oleh Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode Madinah. Dalilnya dapat dilihat pada Surat Al-Furqan ayat 32 dan Surat Al-Isra’ ayat 106.
5. Pada masa sekarang ini para ulama telah sepakat untuk berpedoman kepada bacaan yang benar dari mereka (tujuh qari’). Penurunan Al-Qur’an dengan tujuh huruf itu sebagai kelapangan dari Allah dan rahmat bagi umat-Nya. Karena itu, kalau masing-masing kelompok itu dipaksakan maka setiap kelompok tadi akan melupakan bahasanya dan berpaling dari kebiasaan yang mereka lakukan, baik berupa imalah, hamaz, itsmam, mad maupun yang lainnya karena menyulitkan bagi mereka.


Oleh. Syihabudin M,S.Pd.I

               


















DAFTAR  PUSTAKA


1.      Al Qaththan, Manna’ , Mabâhis fî ulûm al-Qur’ân, Riyad, cet-3, Tahun, 1973
2.      Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, Tahun 1994.
3.      Al-’Utsaimin , Shalih ,Ushulun fi At-Tafsiri, (hlm. 36—38), penerbit: Cahaya Tauhid Press
4.      Zainu Jamil, “Pemahaman Al Qur’an”,. Penerbit: Gema Risalah Press, Bandung; Cet. Pertama: September 1997
5.      As-Shalih, Subuhi, (2001), Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
6.      Ash shaabuniy,Muhammad Ali, studi ilmu Al Qur’an, penerbit pustaka setia Bandung, 1998
7.      Shihab, M. Quraish, (1996), Membumikan Al-Qur’an¸ Bandung: Mizan.


0 komentar: