Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm
rahimahullah mengatakan:
“Rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam
bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini
adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian
khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan
melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian
pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui
bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di
balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas
tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan
makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di
dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas,
ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan
bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra
bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi
tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka
dan mencelakakan”
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais
berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya
dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut
ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan
cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia
akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya
mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ilmu atau syarat atau kompetensi yang harus dimiliki
untuk dapat berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) atau menggali
hukum-hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebagaimana yang
disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut:
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih
hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya
kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan
direstuinya.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam
masalah baru seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu
amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang
kuat dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang
akurat menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut
ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu
sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang cukup
jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat semata-mata mencari
kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu
adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam,
keadaan lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,
ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah
selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallahu
anhum memerlukan :
1. Mengetahui
dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah
diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas
dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan
dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan
dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan
badi’).
2. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali
hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai
sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti
yang telah dikatakan tadi yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya.
3. Mengetahui
dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah
yaqiniyah qath’iyah.
4. Mengetahui
yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam
as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi
as-Sunnah.
5. Mengetahui
ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari
al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana
untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid
kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah
empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau
ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya
terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan
menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja
dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat
hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan
dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak
disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid,
sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah
ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang
lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui
dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang
suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah
ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar