Jumat, 02 Maret 2012

HIDUP MENJADI BERKAH


HIDUP MENJADI BERKAH

Pengertian Berkah ( Al-Barakah )
Al-barakah, kata yang kemudian diterjemahkan menjadi berkah itu, bermula dari image tentang unta yang mendekam. Orang Arab dahulu sering mengatakan ba-ra-ka al-ba’îr, unta itu mendekam. Biasanya, ketika unta kekenyangan setelah menghabiskan makanannya, ia segera menekuk lututnya untuk kemudian mendekam dalam waktu yang lama. Atau ketika merasa badannya terlalu panas oleh sengatan matahari, ia pun segera turun ke air, dan mendekam di sana. Unta itu menetap di sana.
Image ini lalu berkembang, dan setiap sesuatu yang “mendekam” dan “menetap” diungkapkanlah dengan kata ba-ra-ka. Maka, tak heran jika al-barakah suka didefinisikan khairât tsâbitah, nikmat yang “menetap”. Keuntungan hasil perdagangan adalah sebuah nikmat, tapi dia tidak dikatakan berkah jika tidak “menetap” di sana. Jika muncul lalu hilang, itu berarti tidak berkah. Al-Zarqâni dalam syarahnya atas Muwaththa’ Imam Malik, dan juga banyak ulama lain, sering  menerangkan bahwa al-barakah berarti al-tsubût wa al-luzûm, menetap-di-sana, ada dan berlama-lama di sana.
Arti lain dari Al-Barakah
Para ulama banyak mendefinisikan makna  al-barakah dengan kata yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan hakekat. Diantaranya:
  • Al-barakah di definisikan dengan makna khairât tsâbitah, nikmat yang “menetap”
  • AlZarqani Al-Zarqâni dalam syarahnya atas Muwaththa’ menyebutkan al-barakah adalah al-tsubût wa al-luzûm, artinya menetap-di-sana, ada dan berlama-lama di sana
  • Ada juga yang menyebutnya dengan al-numuw wa al-ziyâdah, bertumbuh dan bertambah.
  • Ibnu Abbas menjelaskan al-barakah sebagai al-katsrah fi kulli khair, kemelimpahruahan yang ada pada tiap nikmat baik.
  • Al-Zarqâni juga mengutip pandangan ulama-ulama bahwa ­al-barakah adalah al-ziyâdah min al-khair wa al-karâmah, kenikmatan dan kemurahan yang bertambah-tambah.
Al-Quran sendiri ketika mau menggambarkan sebuah nikmat Ilahi yang banyak, juga memakai kata ba-ra-ka. Dalam al-Isrâ’ (17): 1, misalnya, disebutkan, “… al-masjidi al-aqshâ al-ladzî bârakna haulahu … ”, Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya. Gambaran tentang Palestina yang mendapat nikmat karena nabi-nabi diturunkan di sana, dan sekaligus bertanah subur, disampaikan dengan kalimat “yang telah Kami berkati”.
Begitu juga saat menggambarkan tanah Syam yang subur, berkah menjadi bahasa-penyampai. Dalam al-Anbiya’ (21): 71 tercatat, “ … al-ardhi al-latî bârakna fîhâ … ”, sebuah negeri yang Kami berkati, untuk menunjuk Syam. Tentang Syam ini juga direkam dalam Saba’ (34): 18 dengan bahasa, “ … al-qurâ al-ladzî bâraknâ … ”, negeri-negeri yang telah Kami limpahkan berkah padanya.
Dan gambaran-gambaran semacam ini tanpa kita sadari telah membentuk pikiran kita tentang berkah, bahwa berkah adalah sebuah nikmat berlimpah yang murni dari Allah, tak tersentuh kotoran manusia. Allahumma bârik lanâ fîmâ razaqtanâ … , ya Allah berilah berkah pada rezeki kami …. Berkah selalu memenuhi sudut-sudut kata dalam doa-doa kita
Kiat Menjadikan Hidup Berkah
Setiap manusia tentu mendambakan kehidupan penuh berkah. Karena itu tidak heran, jika kita dapati banyak manusia rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa demi mendapatkan berkah. Dan mereka sangat berharap, jika kesempatan dan umurnya ditambah, merasa sangat gembira ketika rizqinya dilapangkan, memiliki keturunan banyak, dan hal-hal lain yang berupa kesenangan dan kenikmatan yang diinginkan oleh hati manusia. Menurut mereka hal-hal demikianlah yang akan mendatangkan kebahagiaan. Sudah seyogyanya seorang muslim senantiasa berdo’a kepada Allah subhanahu wata’aala agar melimpahkan keberkahan kepadanya. Hal inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam; sebagai qudwah hasanah (suri tauladan) bagi kita. Beliau memohon keberkahan kepada Allah subhanahu wata`ala dalam segala urusan.
Berkah adalah menetapnya kebaikan (dari Allah subhanahu wata’aala) di dalam sesuatu. Apabila berkah terdapat pada sesuatu yang sedikit, niscaya ia akan berkembang menjadi banyak, sedangkan apabila berkah tersebut terdapat pada sesuatu yang banyak, maka niscaya ia akan semakin bermanfaat. Dan di antara buah yang paling agung dari berkah dalam beraneka ragam nikmat yang Allah subhanahu wata’aala karuniakan adalah dipergunakannya nikmat-nikmat tersebut untuk keta`atan kepada Allah subhanahu wata’aala.
Keberkahan yang di berikan Allah subhanahu wata’aala juga bisa berupa kendaraan yang kondisinya selalu prima, walaupun sudah tua umurnya, jarang rusak atau mogok; Merasakan ketenangan walaupun tidak mempunyai harta yang banyak; Memiliki seorang putri sematawa yang yang senantiasa membantu dan mematuhi perintahnya; dikaruniai banyak cucu yang menjadi penyejuk mata baginya. Selain itu ada pula berupa waktu, sehingga ia dengan mudah memanfaatkan seluruh waktunya dalam rangka ibadah dan ta’at kepada Allah dan memberikan manfaat kepada orang lain, dan lain-lain. Tentunya kita selalu berdo’a kepada Allah subhanahu wata’aala agar dijauhkan dari hidup yang tidak berkah. Karena banyak pula manusia yang hartanya milyaran rupiah/dolar, tetapi diperbudak oleh hartanya tersebut. Banting tulang bekerja dari pagi hingga larut malam, bahkan sampai tidak tidur malam, karena sibuk menghitung uang dan terus-menerus memikirkan bisnis yang lebih menguntungkan. Ada juga kita dapati seseorang memiliki anak banyak, tetapi semuanya menjadi musuh bagi dirinya, durhaka kepadanya, membuat malu dirinya karena ulah dan prilakunya yang sangat buruk. Ada pula yang tidak pernah puas dengan apa yang ia dapatkan, seolah-olah tujuan hidupnya hanya untuk mengumpulkan dunia. Na’udzu billahi min dzalik!
Lalu bagaimana berkah dalam hidup itu bisa kita capai? Kiat-kiat di bawah ini merupakan solusi dan jawaban dari pertanyaan tersebut, sebagai berikut:
  • Bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’aala.
Taqwa merupakan kunci seluruh kebaikan. Allah subhanahu wata’aala berfirman:
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. QS. Al-A`raf :96)
Allah subhanahu wata’aala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-thalaq :2-3). Maksudnya dari sisi yang tidak pernah ia perkirakan.
Dan “Taqwa” menurut para ulama adalah ‘engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’aala berdasarka ilmu dari Allah subhanahu wata’aala, semata-mata mengharap pahalaNya; dan engkau tidak bermaksiat kepadaNya karena engkau takut terhadap adzabNya.’
Maka jika engkau bertakwa berarti engkau telah mengumpulkan dua hal, yaitu perintah dan larangan. Engkau melaksanakan perintah berdasarkan ilmu dan meninggalkan maksiat berdasarkan ilmu,serta engkau betul-betul mengharapkan pahala Allah subhanahu wata’aala atas pelaksanaan perintah-perintahNya tersebut dan engkau sangat takut akan adzab Allah subhanahu wata’aala ;sehingga meningalkan larangan-larangan-Nya.
  • Membaca Al-Qur`an.
Sungguh Al-Qur`an merupakan kitab yang penuh berkah, obat dan penawar bagi seluruh penyakit hati dan jasad. Allah subhanahu wata’aala; berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”. (QS. Shaad: 29).
Dan amal yang shalih merupakan sarana untuk meraih sebuah kebaikan dan berkah.
  • Berdo’a.
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam senantiasa memohon berkah kepada Allah subhanahu wata’aala dalam berbagai urusan.
  • Jujur dalam bermu’amalah.
Baik dalam jual beli, sewa-menyewa ataupun transaksi lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Penjual dan pembeli masih memiliki hak memilih selama keduanya belum berpisah (dari tempat transaksi). Jika keduanya jujur dan terbuka (menjelaskan jika ada cacat/kekurangan), maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka dan jika keduanya menutup-nutupi dan berdusta, maka lenyaplah berkah jual beli mereka.” (HR. Al-Bukhari)
  • Menyelesaikan pekerjaan di waktu pagi.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam; bersabda, “Semoga Allah subhanahu wata’aala memberkahi ummatku pada waktu pagi mereka”. (HR. Ahmad)
  • Mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alahi wasallam dalam setiap urusan.
Karena hal itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan. Dari Jabir bin Abdullah radhiallhu `anhu berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan agar menjilati jari-jemari dan piring, dan beliau berkata, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian mana terdapat berkah dari makanan kalian.” (HR. Muslim)
  • Kesungguhan dalam bertawakkal kepada Allah subhanahu wata’aala.
Allah subhanahu wata’aala; berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُه
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS Ath-Thalaq: 3).
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, “Kalaulah kalian bertawakkal kepada Allah subhanahu wata’aala; dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah subhanahu wata’aala memberikan rizqi kepada kalian sebagaimana Allah subhanahu wata’aala memberikan rizqi kepada burung, keluar di pagi hari dalam keadaan lapar pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).
  • Melakukan shalat istikharah dalam setiap urusan.
Pasrah dan menerima apa yang telah Allah subhanahu wata’aala tentukan, karena hal tersebut pasti lebih baik untuk dirinya di dunia ataupun akhirat.
  • Tidak meminta-minta kepada orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Siapa saja yang memiliki kebutuhan, lalu ia melimpahkan kebutuhannya tersebut kepada orang lain, maka yang lebih pantas adalah tidak dimudahkan kebutuhannya dan barangsiapa yang memasrahkan kebutuhannya kepada Allah subhanahu wata’aala; niscaya Dia akan mendatangkan kepadanya rizqi dengan segera atau menunda kematiannya.” (HR. Ahmad)
  • Berinfaq dan bersedekah.
Karena keduanya merupakan sarana untuk memperoleh rizqi yang lebih baik yang merupakan karunia Allah subhanahu wata’aala kepadanya. Allah subhanahu wata’aala berfirman:
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS. Saba`: 39)
Di dalam hadits qudsi disebutkan, Allah subhanahu wata’aala berfirman, “Wahai anak Adam berinfaqlah, niscaya Aku akan menafkahimu”. (HR. Muslim)
  • Menjauhkan diri dari harta yang haram
Karena harta haram dalam berbagai bentuk dan rupanya tidaklah membawa berkah sedikit pun dan tidak pula menjadikannya langgeng atau awet. Ayat yang menyatakan tentang hal ini sangatlah banyak, di antaranya firman Allah subhanahu wata’aala:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”. (QS. Al-Baqarah: 276),
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa maksud ‘memusnahkan riba’ adalah memusnahkan harta tersebut dari pemiliknya secara keseluruhan atau meniadakan berkah harta tersebut, tidak bermanfaat bahkan menjadikan pemiliknya diadzab, baik di dunia ataupun di akhirat. Sedangkan makna ‘menyuburkan sedekah’ adalah memperbanyak harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya.
  • Bersyukur dan memuji Allah subhanahu wata’aala atas segala pemberian dan nikmat-nikmatNya.
Allah subhanahu wata’aala berfirman, artinya, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS. Ibrahim: 7)
  • Menunaikan shalat fardhu,
Allah subhanahu wata’aala; berfirman:
      “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizqi kepadamu. Kamilah yang memberi rezqi kepadamu dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa”. (QS. Thaaha : 132)
  • Terus-menerus beristighfar (memohon ampun kepada Allah subhanahu wata’aala).
Allah subhanahu wata’aala; berfirman:
aka aku katakan kepada mereka, ‘Beristighfarlah (mohonlah ampun) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun, niscaya Dia akan mengirimkam hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh : 10-12)

* Sumber : disadur dari risalah “Al-Barakah” , Abdul Malik al-Qosim
“SUDAHLAH! Jangan ngoyo, kita nggak akan berhasil!” Kata-kata seperti ini mungkin pernah kita dengar pada saat orang atau kelompok orang menyusun rencana dan target kerja.
Ada dua kemungkinan mengapa kata-kata ini keluar dari mulut seseorang. Pertama, rencana yang dibuat memang tak realistis. Kedua, ada orang yang selalu memandang berat setiap masalah. Alasan kedua inilah yang biasa disebut sebagai sikap pesimis.

Sikap pesimis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang telah terjangkiti virus pesimis selalu merasa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi masa depan.
Penyakit pesimis dapat terbangun akibat proses pendidikan yang kurang baik: bisa dari masa kecil atau akibat peristiwa sesaat yang sangat menyakitkan. Penyebab pertama, biasanya akan lebih sulit diperbaiki, karena pesimisme telah menyatu dalam kepribadian orang tersebut. Mereka memiliki konsep diri yang kurang baik dan memiliki pandangan yang buram terhadap kehidupan dan masa depan nya. Sedang pesimisme yang terjangkit akibat pengalaman pahit, lebih mudah diatasi sejauh orang tersebut dapat menata kembali target dan langkah-langkahnya dalam mencapai target tersebut.
Berikut beberapa-hal yang dapat menumbuhkan perasaan pesimistis dalam diri seseorang:
1. Terlalu sering dibantu. Anak yang tumbuh dalam suasana sering dibantu seringkali tak dapat mengenali kemampuannya. Ia akan sering mengatakan, “Saya tak bisa.” Ini terjadi karena anak tak dibiarkan menghadapi kesulitan sedikitpun. Ketika si anak mengeluh tentang sulitnya ‘PR’ dari sekolah, orang tua lantas mengambil alih PR tersebut. Ketika anak menghadapi masalah dengan mainannya, orang tua segera mengatasi masalah tersebut. Dalam jangka panjang, anak ini akan tumbuh sebagai orang yang merasa tak mampu menghadapi kesulitan. Ia akan selalu mengharapkan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah-masalahnya. Manakala bantuan itu tak ia peroleh, ia pun merasa tak dapat berbuat apa apa.
2. Terlalu sering dilecehkan. Orang yang dalam masa pertumbuhannya seringkali dilecehkan akan menganggap dirinya menjadi orang terbodoh se-dunia. Keadaan ini tentu membuatnya memandang buram potret diri dan masa depannya. Ia juga akan merasa tak mampu mengatasi persoalannya sendiri.
3. Sikap negatif terhadap kegagalan. Kalau kita lihat dalam keseharian, ada orang yang merasa selalu ditimpa kegagalan. Pada kenyataanya, tak ada seorang pun di dunia ini yang selalu gagal dan tak pernah berhasil. Masalahnya adalah bagaimana ia menyikapi kegagalan. Ada orang yang merasa begitu hancur ketika ditimpa kegagalan. Kegagalan  menjadi peristiwa yang amat besar dalam hidupnya, sebab keberhasilan tak pernah ia syukuri sedikitpun. Akibatnya, ia merasa sebagai pecundang, bodoh dan tak punya masa depan.
4. Dampak optimisme berlebihan. Optimisme berlebihan seringkali menyisakan pengalaman pahit dalam diri seseorang. Pengalaman ini membuat orang tak lagi bergairah membicarakan target-target yang telah gagal itu. Orang seperti ini menghadapi trauma untuk membicarakan hal tersebut. Keadaan seperti ini tentu akan menyulitkan bagi orang tersebut untuk bangkit dari kegagalan. Ia akan lebih tertarik untuk membicarakan dan memulai hal-hal baru daripada mengulang kembali pengalaman pahit tersebut.

Pesimisme, baik yang dialami oleh individu maupun kelompok, memang harus diatasi. Namun, dibutuhkan keteguhan dalam membatasi masalah kejiwaan yang satu ini, karena pesimisme terbangun dari pengalaman dan kita tak bisa mengubah hal-hal yang telah terjadi. Ada bebarapa hal yang mungkin dilakukan untuk membangun kembali optimisme kita:
1. Temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu, sepahit apapun pengalaman itu. Dalam kegagalan, sekalipun masih ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang terselip, cobalah temukan keberhasilan itu dan syukuri keberadaannya. Upaya ini paling tidak akan mengobati sebagian dari perasaan hancur yang kita derita. “Tapi bagaimanapun saya telah gagal” Buang jauh-jauh pikiran tersebut, karena pikiran tersebut tak akan membantu kita dalam meraih nikmat Allah berikutnya. Allah hanya akan menambahkan nikmatNya pada orang yang mau mensyukuri pemberianNya meskipun nikmat itu sedikit.
2. Tata kembali target yang ingin kita capai. Jangan terbiasa membuat target yang berlebihan. Kita memang harus optimis, tapi kita perlu juga mengukur kemampuan diri sendiri. Kita juga perlu menelaah lebih jeli cara apa yang mungkin kita lakukan untuk mencapai target tertentu. Cara Irak menghadapi agresor/penjajah AS mungkin dapat dijadikan contoh. Dari awal Irak tak mengatakan akan menang dalam pertempuran. Tapi mereka hanya mengatakan “AS akan menghadapi kesulitan jika berhadapan dengan tentara dan perlawanan rakyat Irak.” Irak pun menghitung-hitung dalam medan mana ia dapat memberikan perlawanan yang sengit terhadap para agresor/penjajah tersebut. Mungkin Irak berusaha memenangkan pertempuran di medan opini dunia dan jalur diplomatik. Ini adalah satu contoh bagaimana sebaiknya menetapkan target dengan melihat kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki.
3. Pecah target besar menjadi target-target kecil yang dapat segera dilihat keberhasilannya. Seringkali ada manfaatnya untuk melihat keberhasilan-keberhasilan jangka pendek dari sebuah target jangka panjang. Hal ini akan semakin menumbuhkan semangat dan optimisme dalam diri kita. Tentu kita harus terus mensyukuri apa yang kita peroleh dari capaian target-target kecil tersebut. Jangan pernah terbetik dalam hati, “Ah baru segini, target kita masih jauh.” Sikap ini sama sekali tak membangun rasa optimis.
4. Bertawakal kepada Allah. Menyadari adanya satu kekuatan yang dapat menolong kita di saat kita menghadapi rintangan merupakan modal dasar yang cukup ampuh dalam membangun optimisme. Bertawakal tentu harus dilakukan bersamaan dengan upaya kita memperbaiki target dan strategi pencapaiannya.
5. Langkah terakhir kita perlu merubah pandangan kita terhadap diri sendiri dan kegagalan. Kita perlu lebih sayang dan menghargai diri sendiri. Jangan kita terus menerus mengejek diri sendiri. “Aku ini orang bodoh, tak bisa apa apa.” Ini bukanlah sikap merendah, tapi merupakan sikap ingkar terhadap kelebihan yang telah Allah karunikan kepada kita. Wallahu’alam