Selasa, 17 Desember 2013

ESENSI INFAK DAN SEDEKAH DALAM ISLAM




A.     PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna. Ajaran Islam sangat memperhatikan dan mengatur seluk-beluk kehidupan manusia dari mulai masalah yang simpel sampai masalah yang sangat rumit, juga dari mulai masalah terkecil sampai masalah yang sangat besar, dari masalah keluarga sampai pemerintahan, semuanya diatur dalam Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang harus ditempuh oleh setiap manusia dalam menapaki kehidupan dunia ini, supaya manusia tidak tersesat kemana ia harus melangkah, dan supaya ia selamat sampai tujuannya kelak.
Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 19 , “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali-Imran : 19)
Dari ayat tersebut sudah tersirat dalam benak kita semua sebagai orang yang beriman pada Allah dan al-Quran, bahwa sesungguhnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang diridhoi oleh Allah swt. melainkan ad-Dînul Islâm (agama Islam).
Kebenaran agama ini sudah tidak bisa dibantahkan lagi oleh pendapat para ilmuwan sepintar apapun dan sejenius apapun, bahkan mereka mencoba memutarbalikan fakta di dalam agama Islam dan mencoba merubah esensi agama Islam itu sendiri, tapi hasilnya mereka gagal, malah banyak dari kalangan ilmuwan setelah mempelajari Islam mereka berserah diri dan mengucapkan dua kalimat syahadat karena mereka tidak mampu menguraikan ketakjuban mereka dengan agama Islam ini. Hal ini telah Allah janjikan bahwasannya tidak akan ada yang mampu merubah dan mengganti ajaran Islam satu hurufpun, karena Allah sudah menjaminnya dalam al-Quran bahwasannya al-Quran sebagai sumber pedoman ajaran Islam akan terlindungi sampai kapanpun.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran sampai kapanpun dan selama-lamanya. Dan buktinya sampai sekarang ajaran Islam masih terpatri kuat dalam hati orang-orang yang berserah diri (muslim), dan ajarannya tetap tegak di muka bumi ini sampai hari akhir atau kiamat tiba. Subhânallah, sangat luarbiasanya agama Islam ini, tidak ada satupun umat manusia bisa menandingi kesempurnaan agama Islam ini, karena agama ini mutlak sumbernya dari Allah swt. sang pemilik alam dan jagad raya ini. Yang tahu seluk-beluk dan detail semua makhluk ciptaan-Nya. Akantetapi manusia selalu menyombongkan diri untuk enggan menerima Islam sebagai agamanya. Na’udzubillâhi min dzâlik.
Sebagaimana yang kita ketahui, di dalam ajaran Islam mengatur berbagai aspek dan sendi kehidupan, tidak hanya mengatur masalah habblu minallâh  saja,  yang menghubungankan secara vertikal antara hamba dan Rabbnya. Akantetapi Islam juga mengatur masalah habblu minan-nâs atau mu’âmalah baina an-nâs, yaitu hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya, yang mengurusi masalah pergaulan dan sosialisasi di antara manusia.
Contoh konkretnya adalah infak dan sedekah, yang dibahas oleh para ulama Islam dalam kategori ibadah muamalah, atau sering dimaksud dengan ibadah sosial. Yang mana praktek ibadah ini yaitu menghubungkan langsung antara manusia satu dengan yang lainnya, bertujuan untuk menjaga keutuhan bermasyarakat yang ideal, saling membantu dan menolong dari segi materil dan moril guna mewujudkan rasa saling menyayangi, rasa saling mengasihi, dan rasa saling perhatian antar sesama umat manusia.
***
B.      PEMBAHASAN
B. a Definisi Infak Menurut Bahasa
Yang pertama definisi kata “infak” ditinjau dari segi bahasa. Menurut kamus ”Lisânul ‘Arab” kata ini satu akar kata dengan kalimat نفق-ينفق-نفوقا yang berarti مات-يموت-موتا yaitu mati atau sesuatu yang mati, dikatakan نفق الحيوان yang berarti hewan itu telah mati. Atau bersumber dari kalimat نفق-ينفق-نفاقا yang berarti راج yaitu laku atau laris, dikatakan نفقت السلعة yang berarti barang dagangan itu telah laku dan laris (terjual). Akantetapi kalimat yang paling mendekati dengan kata “infak” ini yaitu berasal dari kalimat أنفق-ينفق-إنفاق yang berarti صرف-يصرف-صرفا yaitu membelanjakan atau menghabiskan, dikatakan أنفق المال yang berarti membelanjakan atau menghabiskan harta.1 Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah swt. berikut ini :
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. al-Munâfiqûn : 10)
Dan jika dilihat dari sumber dan asal katanya, penulis mendapatkan asal kata“infak” ini berasal dari mashdar atau kata benda dari kalimat أنفق-ينفق-إنفاق yang berarti “pembelanjaan”. Dan al-Imam ar-Râgib al-Ashfahânî berpendapat dalam kitabnya yang bernama “Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qurân” bahwasannya kata “infak” yang dimaksud sering dikaitkan penggunaannya dengan kata al-mâl atau harta, dan terkadang juga dengan kata-kata atau istilah-istilah yang lainnya, dan terkadang infak itu ada yang bersifat wajib, dan ada juga yang bersifat sunnah atau hanya sebatas anjuran saja.2 Salah satu contohnya juga dapat dilihat dalam ayat al-Quran berikut ini :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah : 195)
Dengan melihat makna infak dari berbagai sumber yang penulis paparkan, penulis beranggapan bahwasannya kata “infak” ini mengandung makna yang dekat dengan kata pembelanjaan, penghabisan, atau sesuatu hal yang asalnya ada menjadi tidak ada (hilang secara zahir) setelah dilakukan proses infak ini.
Dan adapun kata “nafkah” yang masih memiliki hubungan erat dengan kata “infak” dan mempunyai satu akar kata yang sama, mempunyai arti sebagai “harta atau sesuatu hal yang diinfakkan”.3 Contohnya dapat diliha dalam beberapa ayat berikut ini :
”Apa saja yang kamu nafkahkan dari  sebuah nafkah (harta) atau  apa saja yang kamu nazarkan dari sebuah nazar, Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.” (QS. al-Baqarah : 270)
B. b. Definisi Sedekah Menurut Bahasa
Berikutnya adalah kata “sedekah” yang ditinjau dari segi bahasa. Menurut kamus “Lisânul ‘Arab” satu akar kata dengan kalimat صدق-يصدق-صدقا yang mempunyai arti berkata benar dan jujur, kebalikan dari kalimat كذب-يكذب-كذبا yang berarti berkata bohong. Dikatakan صدقت القوم أي قلت لهم صدقا yang artinya “saya berbicara jujur dan benar terhadap suatu kaum.” Dan kalimat صدّق berarti membenarkan. Dikatakan صدّق قولك أي قبله yang berarti “dia telah membenarkan atau menerima perkataanmu.” Dan kata “sedekah” itu sendiri berasal dari kalimatالصدقة” yang secara bahasa sama dengan kalimatالحسنةyang berarti suatu kebaikan. Sedangkan kata kerja dari kalimat ini berasal dari kalimat تصدق-يتصدق-تصدقا yang berarti bersedekah, memberi sedekah, atau berbuat kebaikan.4 Contoh kalimatnya dapat dilihat di dalam beberapa ayat berikut ini,
“Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sedekah (kebaikan), dengan (sedekah itu) kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. at-Taubah : 103)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah penangguhan sampai dia berada dalam kelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 280)
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwasannya kata “sedekah” erat kaitannya dengan sesuatu yang bersifat kebenaran atau kebaikan. Hal ini karena sumber pengambilan akar katanya diambil dari kalimat صدق-يصدق-صدقا yang berarti berkata benar atau jujur.
B. c. Definisi Infak Menurut Istilah
Definisi  “infak” menurut istilah terdiri dari beberapa pengertian, di antaranya :
  • Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “pemberian sumbangan harta (selain zakat wajib) dalam hal kebaikan untuk kepentingan umum.” Dan kata “menginfakkan harta” berarti “memberikan sumbangan harta dalam hal kebaikan untuk kepentingan umum.”5
  • Menurut Imam aj-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rîfât menjelaskan bahwa infak adalah pembelanjaan atau penggunaan harta untuk suatu kebutuhan (صرف المال إلى الحاجة).6
  • Menurut Ahmad Mukhtar Umar dalam kitabnya Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah bahwasannya kata infak yang dimaksud selalu berkaitan dengan harta, dan mempunyai makna pembelanjaan atau penghabisan harta tanpa perhitungan (boros).7
Dari berbagai sumber yang penulis paparkan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwasannya kata “infak” menurut istilah para pakar bahasa selalu berkaitan erat dengan kata al-mâl  atau harta. Dan mempunyai makna sekitar “pembelanjaan atau pemberian harta tertentu dalam hal kebaikan kepada siapa saja yang membutuhkan dan berhak menerimanya untuk suatu kepentingan atau kebutuhan tertentu.
B. d. Definisi Sedekah Menurut Istilah
Definisi “sedekah” menurut istilah terdiri dari beberapa pengertian, di antaranya:
  • Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mempunyai arti “pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat fitrah sesuai kemampuan si pemberi.” Atau sering disebut dengan istilah “derma” dan orangnya sering disebut sebagai “dermawan” yaitu orang yang suka berderma (bersedekah). Dan kata “menyedekahkan harta” berarti “memberikan harta sebagai sedekah kepada yang berhak menerimanya sesuai kemampuan si pemberi” atau disebut juga “mendermakan harta”.8
  • Menurut Imam ar-Ragib al-Ashfahani dalam kitabnya Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qurân menerangkan bahwa makna sedekah adalah “apa-apa yang dikeluarkan oleh manusia dari hartanya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. seperti halnya zakat, akantetapi biasanya sedekah dikenal sebagai sesuatu yang disunnahkan atau dianjurkan, sedangkan zakat untuk sesuatu yang wajib.9
  • Imam aj-Jurjani beliau mendefiniskan istilah “صدقة” dalam kitabnya “at-Ta’rîfât”. Menurut beliau, صدقة adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah swt.
B. e. Permasalahan Penggunaan Istilah Sedekah

  • Menurut Syeikh Dr. Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Fiqhu az-Zakât menegaskan bahwasannya makna dari kata “sedekah” itu sendiri adalah penamaan lain dari kata “zakat” hal ini dilihat dari sudut pandang bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sedekah (kebaikan), dengan (sedekah itu) kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. at-Taubah : 103)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah : 60)
Dan dari hasits Rasulullah saw. tatkala mengutus Mu’adz bin Jabal ra. ke negeri Yaman, dan memerintahkan kepadanya untuk mengambil harta-harta orang-orang ahli kitab yang telah masuk Islam sebagai zakat. Rasulullah saw. bersabda :
أعلمهم أن الله افترض عليهم في أموالهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم
 “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).10
Dari semua nas ini menunjukan bahwasannya maksud penggunaan kata “sedekah” di sini adalah zakat yang hukumnya wajib.
Dan hanya saja ‘urf (kebiasaan, tradisi, adat) telah merubah kata “sedekah”, dan kata itu berubah maknanya menjadi istilah tersendiri yang hukumnya sunnah. Juga memiliki makna tersendiri sebagai apa-apa yang didermakan atau diberikan oleh seseorang terhadap orang yang meminta-minta. Akantetapi isyarat ‘urf ini tidak lantas memalingkan kita dari kebenaran kalimat-kalimat dari bahasa arab pada masa turunnya al-quran.11
  • Dan istilah “sedekah” ini juga sering dipandang sebagai sesuatu yang ma’rûf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini lebih menunjukan bahwasanya istilah sedekah lebih umum dari pada istilah-istilah sebelumnya. Istilah ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi saw. bersabda : “كل معروف صدقة (setiap kebajikan, adalah sedekah).
Berdasarkan poin ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sedekah, memberi nafkah kepada keluarga adalah sedekah, ber-’amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah sedekah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga sedekah. Agaknya arti sedekah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Imam aj-Jurjani ketika beliau mendefiniskan istilah “صدقة” dalam kitabnya “at-Ta’rîfât”. Menurut beliau, صدقة adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah swt.12 Pemberian (al-‘âthiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
B. f. Perbedaan Infak dan Sedekah
  • Sedekah, tidak khusus harta saja; bisa berupa amalan lisan atau perbuatan atau menginfakkan harta, karena hal ini disebutkan nabi dalam beberapa hadits shahih salah satu contohnya hadits berikut ini :
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqah?
إِنَّهُ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَبِكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَبِكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَبِكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ
Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh,
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ
“menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh.
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh.
Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376)
Karena maknanya umum, “pemberian yang diberikan karena mengharap ridho Allah swt.” (sebagaimana definisi diatas), dan ini tidak hanya khusus harta saja.
  • Adapun Infaq, maknanya mengeluarkan harta; Sehingga infaq, khusus dalam hal harta saja. Sedangkan mengeluarkan harta, bisa berarti dijalan Allah (dan ini bisa disebut juga shadaqah), bisa pula dijalan yang diperbolehkan, bisa pula bermakna tercela. Adapun infaq yang tercela; terbagi dua: (1) Isyraf : Berlebih-lebihan/bermewah-mewahan dalam perkara yang mubah
    (2) dan Tabdzir: Membelanjakan harta dalam perkara maksiat meskipun hanya satu rupiah. Wallahua’lam.[]


 1 Kamus “Lisânul ‘Arab”, bab huruf “nûn”, hal. 4507-4508.
2 Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qurân, karya Imam ar-Râgib al-Ashfahânî, hal. 380.
3 Ibid.
4 Kamus Lisânul ‘Arab, bab huruf “shâd” , hal. 2417&2419.
5 KBBI Offline (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
6 At-Ta’rîfât karya Imam aj-Jurjani, hal. 39
7 Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah karya Ahmad Mukhtar Umar, hal. 2260.
8 KBBI Offline (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
9 Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qurân karya Imam ar-Ragib al-Ashfahani, hal. 209.
10 Fiqhu az-Zakât karya Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 40.
11 Ibid. hal. 41.
12 At-Ta’rîfât karya Imam aj-Jurjani, hal. 132.

BAGAIMANA CARA BERIJTIHAD




Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan:
“Rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ilmu atau syarat atau kompetensi yang harus dimiliki untuk dapat berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) atau menggali hukum-hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut:
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat semata-mata mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallahu anhum memerlukan :
1.      Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
2.      Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
3.      Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
4.      Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
5.      Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.